KARAWANG, Spirit – Mengaku telah dapat dukungan dari Pemkab Karawang, dalam hal ini Bupati Karawang, Cellica Nurrachadiana, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Karawang nyatakan tak takut digugat Perhutani. BPN Karawang pun memberanikan diri untuk membagikan sertifikat tanah hasil Program Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) kepada warga Desa Tanjungpakis, Kecamatan Pakisjaya.
“Ya kami tadi dengan temen-temen mohon dukungan dari aspek politik maupun keseluruhan (aspek yuridis maupun aspek fisik). Ya, artinya kami sudah didukung juga oleh pihak pemkab. Berdasarkan data-data ini kita siap (siap digugat Perhutani, red),” tutur Kasubsi Penatagunaan Tanah dan Kawasan Tertentu BPN Karawang, Cecep S Aripin, kepada awak media, Rabu (25/9/2019).
“Sebetulnya ini pembagian sertifikat tersendat karena ada klaim itu (klaim Perhutani). Tapi dari sisi peraturan maupun yuridis yang dilampirkan dan sudah kita kaji, kita sudah bersurat ke Kanwil juga, bahkan BPN sudah dibilang super aktif dari pertama,” timpal Cecep, yang masih menjabat sebagai Wakil Ketua Bidang PTSL.
Dari total 271 sertifikat tanah PTSL yang akan dibagikan kepada warga Desa Tanjungpakis, sambung Cecep, Rabu ini (25/9/2019), baru sebanyak 117 sertifikat akan dibagikan. Sementara sisanya akan menyusul sambil kepengurusan administrasi yang disiapkan masyarakat.
“Seperti yang dibahas di ruang pak sekda tadi bersama ketua DPRD, hari ini disiapkan 117 sertifikat, sisanya karena butuh waktu,” terang Cecep.
Awal Mula Konflik Sertifikat PTSL Pakisjaya Kepada awak media, Cecep menjelaskan, jika program PTSL di Desa Tanjungpakis Kecamatan Pakisjaya ini sudah bergulir sejak 2018. Yaitu dimana pada 20 Januari 2018, BPN Karawang sudah bersurat ke Perhutani untuk memohon data spasial maupun tekstual tentang kawasan hutan.
“Waktu itu kami juga sampaikan akan mengadakan penyuluhan untuk mohon pendampingan maupun saat pendataan di lapangan, yuridis atau pengukuran,” terang Cecep.
Kemudian 1 Februari 2018, penyuluhan dilakukan di Desa Tanjungpakis. Saat itu hadir juga dari pihak Perhutani Cikeong.
“Kita sampaikan ini program PTSL, dimana sebidang tanah di seluruh Indonesia bisa didaftarkan denga syarat clear and clean, tidak ada sengketa konflik atau perkara (tidak ada tumpang tindih). Harapan kami hadirnya Perhutani saat itu untuk meminimalisir permasalahan yang akan timbul,” papar Cecep.
Selesai penyuluhan, masih dijelaskan Cecep, saat itu BPN Karawang memberikan waktu kepada Perhutani untuk menyampaikan tentang kawasan hutan. Tetapi dari pihak Perhutani tidak menyampaikan penjelasan apapun.
Seiring dengan waktu PTSL berjalan terus, pendataan dan pengukuran sendiri tidak didampingi Perhutani. Kendari BPN sudah minta Perhutani untuk mendampingi.
Kemudian, muncul-lah Inpres Nomor 2 Tahun 2018, tentang percepatan PTSL. Hal ini diamanatkan kepada beberapa lembaga seperti Kementerian Kehutanan, Jaksa Agung, Kaporli, Kementriaan PUPR, termasuk BPN. Bahkan Kementrian Kehutanan diminta data spasial, tektual dan pendampingan.
Sampai dengan Maret 2018, sambung Cecep, BPN Karawang kembali bersurat ke Perhutani, tetapi tidak ada jawaban apapun juga. Sampai Juni 2018, BPN aktif bersurat lagi ke KPH Purwakarta, bahkan ke Dipreg Perhutai 3 Jabar yang intinya meminta data spasial.
“Agustus 2018 kami baru diberikan jawaban yang intinya ada peta kawasan hutan dengan merujuk SK Menhut 97 ataupun 2016. Dari sisi yuridisnya seperti itu, mereka meminta pembagian sertifikat PTSL warga Tanjung Pakis tidak diteruskan,” terang Cecep.
Kembali dijelaskan Cecep, saat itu BPN Karawang menerima lampiran peta dalam bentuk PDF yang tidak bisa kita proyekan di lapangan. Pada akhirnya BPN bersurat lagi meminta persoalannya dirapatkan di kantor BPN Karawang. “Ada beberapa kali rapat, kita sepakati rapat kita diminta data, kemudian diproyekan di sana di kawasan Perhutani,” terang Cecep.
Menurut klaim Perhutani, terang Cecep, PTSL Pakis Jaya sebagian besar masuk ke kawasan hutan (tidak secara keseluruhan). Yaitu dengan target PTSL Tanjung Pakis 1.500 bidang, namun realisasinya 1.158 yang masuk.
Namun dengan membaca SK Menhut 97 dan 2016, ternyata kawasan hutan yang dimaksud Perhutani baru sekedar penunjukan kawasan hutan. Dan di dalamnya ada klausul yang memerintahkan Perhutani untuk melakukan ‘penataan batas’. Tapi saat dilihat dari eksisting di lapangan, batas pun tidak ada.
“SK Menhut 97, kalau sudah ada penataan batas harus ada BATB. Itu pun kita minta saat audiensi di pemda, sampai sekarang tidak ada Berita Acara Tata Batas (BATB). SK Menhut 2016 menjelaskan, apabila ada hak-hak masyarakat yang bisa dibuktikan harus diberikan. Masyarakat di sana sejak dulu sudah ada. Kalau di sana ada kawasan hutan, dari dulu masyarakat sudah dikeluarkan. Tapi dari keterangan masyarakat memang tidak ada (kawasan hutan). Ada tuh yang di wilayah Sompek,” papar Cecep.
Sejak ada klaim dari Perhutani, kembali dijelaskan Cecep, penyerahan sertifikat PSTL terhenti. Namun karena ada dukungan dari Pemkab Karawang (bupati, red), serta tidak ada sisi yuridis yang menguatkan klaim Perhutani, akhirnya sertifikat PTSL dibagikan kepada warga Tanjung Pakis.
“Eksistingnya itu sudah jadi hak masyarakat dengan adanya alas hak girik, akta jual beli dan sertifikat tahun 82 sudah ada. Kemudian ada bangunan kantor desa, sekolah dan jalan. Makanya APBD sudah masuk ke sana. Iniah bentuk penguatan kita kenapa sertifikat diberikan kepada warga,” pungkas Cecep. (rls/dar)