KARAWANG, Spirit – Viral berkelahi, sejumlah remaja wanita yang belakangan diketahui merupakan peserta didik di beberapa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Karawang ini pun terancam dikeluarkan dari sekolahnya masing-masing, karena dianggap melanggar tata tertib.
Informasi yang dihimpun menyebutkan bahwa sejumlah remaja wanita ini berasal dari beberapa sekolah di Karawang, antara lain SMP swasta di Kecamatan Batujaya, SMPN Satu Atap (Satap) Tirtajaya, dan SMPN 1 Tirtajaya.
Namun, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Provinsi NTT, Darius Beda Daton, melalui artikel di website resmi Ombudsman pada Kamis (19/9/24), menyampaikan pandangan kritis terhadap keputusan tersebut. Ia menegaskan bahwa pendidikan adalah hak dasar anak yang tidak boleh dirampas, apalagi jika pelanggaran yang dilakukan bukan merupakan tindak pidana.
Pendidikan adalah Hak Dasar Anak
Menurut UUD 1945 Pasal 31 ayat 1, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pendidikan merupakan hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapat dirampas, bahkan oleh negara. Hal ini ditegaskan pula dalam berbagai peraturan lainnya, seperti:
UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang menyebutkan bahwa tugas guru adalah mendidik, membimbing, dan mengarahkan peserta didik.
UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menjamin pendidikan bagi anak meski mereka dijatuhi hukuman pidana.
PP No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar, yang mengatur bahwa setiap anak usia wajib belajar harus mengikuti program pendidikan.
Permendikbud No. 10 Tahun 2020 tentang Program Indonesia Pintar, yang mendukung rintisan wajib belajar 12 tahun.
Darius menyebut, jika di lembaga pemasyarakatan anak tetap mendapatkan hak pendidikan, maka mengeluarkan siswa dari sekolah bukanlah langkah bijak.
Keputusan Sekolah Kurang Tepat
Darius menilai, meskipun pelanggaran tata tertib harus mendapatkan sanksi, mengeluarkan siswa dari sekolah bukanlah solusi yang mencerminkan kebijaksanaan. Tugas sekolah adalah mendidik dan membimbing siswa ke arah yang benar. Keputusan tersebut justru melanggar hak anak untuk memperoleh pendidikan dan bertentangan dengan filosofi pendidikan yang menuntun anak menuju kedewasaan.
Keputusan mengembalikan siswa kepada orang tua seharusnya menjadi langkah terakhir setelah berbagai upaya pembinaan dilakukan. Hukuman yang diberikan semestinya bersifat edukatif, tidak diskriminatif, dan berorientasi pada pembentukan karakter siswa.
Pentingnya Pendidikan Karakter
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menekankan pentingnya pendidikan karakter yang meliputi lima nilai utama: religiusitas, nasionalisme, integritas, kemandirian, dan gotong royong. Sekolah diharapkan menjadi tempat bagi siswa untuk memahami nilai-nilai ini dan membentuk kepribadian yang baik.
Mendidik anak yang melakukan kesalahan bukanlah perkara mudah, namun menjadi tugas utama sekolah dan pendidik. Hukuman yang diterapkan harus bertujuan menyadarkan siswa, bukan membuat mereka merasa terbuang.
Kesimpulan
Darius Beda Daton menutup dengan menyerukan pentingnya peran sekolah, orang tua, dan masyarakat dalam memastikan hak pendidikan anak tetap terjamin. Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Oleh karena itu, sanksi bagi siswa seharusnya tetap mengedepankan prinsip mendidik, membimbing, dan mengarahkan mereka ke jalan yang benar. (***)