Penulis – Rio Febriana
CERITA ini adalah kisah nyata yang terjadi saat saya dan tiga teman, serta pemandu jalan hendak mendaki gunung. Ke empat orang di dalam kisah ini menganjurkan agar nama dan lokasinya disembunyikan. Dengan tidak mengurangi kisahnya, saya ucapkan terimakasih pada peminat baca.
Ini untuk menjadi perhatian bagi kawan-kawan pendaki, apalagi newbie. Bahwa tidak di atas gunung saja kita harus menjaga sopan santun kepada siapapun, di tempat kerja, di rumah dan lainnya juga harus begitu. Menabrak pohon di jalan saja kita dimintai ganti rugi. Nahh… jika di hutan? Kalian saja yang menjawab.
Jumat malam Pukul 21.00 WIB Kami berempat masih bersandar di Kampung Cimerah, di situ rumah Mang Aco penduduk setempat yang akan mengantar kita untuk naik ke atas. Selain untuk petunjuk jalan, karena barang bawaan kita yang tak sedikit juga alasan agar kami minta Mang Aco mengantar. pendakian gunung pada malam hari kali ini menjadi hal yang pertama bagi saya. Sesekali saya mengembuskan napas agak dalam, saya yakini pendakian ini tidak akan terjadi apa-apa.
Saya dan ketiga rekan pendaki lainnya (Raksi, Jaki dan Rif’at) pada 21.31 WIB di pemukiman kabut tipis mulai turun perlahan, seakan merayu untuk tarik resleting jaket dan menutupkan kepala dengan cupluk kami masing-masing. Kami berempat dan ditemani Mang Aco pada saat itu mulai berdiri dan bersiap untuk berdoa karena pendakian ke Gunung Koll sangatlah jauh jika ditempuh dari Cimerah. Kami mulai meriung, dan berdoa pun dimulai.
Melewati seperempat kampung jalan sudah tak lagi datar. Pendakian kita saat itu sangat licin, karena sore saat itu hujan. Tak ayal beberapa kali Raksi terjatuh. Mungkin juga dari bobot tubuhnya yang agak besar. Hahaha. Seringnya Raksi terjatuh, saya berinisiatif ambil batang pohon untuk bantu menopang Raksi. Khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan, karena sisi kanan dan kiri kita jurang dengan kedalaman masih sekitar 6-7 meter.
Sudah satu jam kita mendaki, dengan posisi pendakian di depan Mang Aco, disusul Raksi, Jaki, Rif’at dan terakhir saya. Mang Aco memutuskan untuk nge-camp di tempat dataran, karena kabut sudah mulai tebal dan pandangan sudah tak tembus jauh. Yang terlihat di sekitar hanya pepohonan kopi menjulang tinggi dan rindang, karena akar pohon menjalar dari pohon satu kelainnya. Ribuan pohon mengelilingi kita, tapi jarak pandang kedepan hanya dapat memandang sekitar tiga pohon saja, selebihnya terlihat siluet hitam bak raksasa berambut panjang, menurut saya.
Keringat di dahi saya tak terasa menetes, seraya saya buka tutup botol dan ingin membasahi tenggorokan saya yang pada saat itu mulai kering. Tak lama dari obrolan jadi atau tidaknya kita nge-camp di sini, ada suara cekikikan bersumber dari dahan “Tong ngeganggu, masing-masing weh,” kata Mang Aco dengan bahasa sunda yang dicampur dengan bahasa sehari-hari Kami agar Kami mengerti.
“Suara apa itu mang,” tanya Raksi pada Mang Aco. “Kuntilanak.” jawab Mang Aco. Jantung saya mulai berderap kencang, tangan pun mulai bergetar perlahan.
Itu awal mistis yang kita alami pada pendakian ini.
Mang Aco bersikukuh untuk kami mendirikan camp di situ, esoknya baru melanjutkan perjalanan. Namun dua diantara kami, yaitu Raksi dan Jaki menolak. Yang lebih gigih pada saat itu Jaki, yang ingin melihat sunrise Gunung Koll yang indah dan seakan memaksa untuk lanjut mendaki. Alasan yang tepat mungkin karena pendakian kita pada saat itu sangat singkat waktunya, hanya dua hari saja. Karena hari Senin kami harus berkerja lagi.
Di sini memang saya sangat ingin melihat sunrise-nya yang merayu, di sisi lainnya juga harus memikirkan keselamatan bersama. Akhirnya saya hanya diam dan mendengarkan mereka berbincang pelan hingga beberapa menit.
Saya sibakkan lengan jaket untuk melihat jam, ternyata sudah Pukul 22.27 WIB. Saya berkata sekali dalam obrolan itu, sambil menutup botol “Ayuk kalo mau jalan lagi, udah jam setengah sebelas nih.”
Akhirnya Kami packing kembali dan melanjutkan perjalanan lagi. Saya melihat wajah tak senang pada Mang Aco, mungkin karena anjurannya tidak diindahkan.
Tapi tak apa lah, dengan ucap bismillahirrahmanirrahim pendakian kami mulai kembali.
Tak jauh, sekitar seratus meter dari tempat peristirahatan kami tadi, terlihat jelas oleh mata kepala saya sendiri dan Rif’at ada benda putih melayang dari dahan ke dahan. Aura mistis sangat tinggi pada saat itu, karena bulu punggung saya meremang hebat. Dengar cerita orang terdahulu, jika bulu kuduk berasa berdiri berarti ada hal mistis yang mendekati.
Saat benda itu terlihat terbang, tak ada sedikitpun suara di rimbunnya hutan sekejap. Kabut tebal menambah aura mistis yang sangat kental. Memang yang saya rasakan sangat tinggi sekali aura mistis tersebut.
“Kang lebih baik jangan dilanjut, saya mah sudah biasa melihat kejadian-kejadian itu. Kalau akang-akang kan baru, saya khawatir ada apa-apa dalam perjalanan,” kata Mang Aco berbicara perlahan.
“Saya mah mau lanjut hayu, mau camp di sini hayu. Ikut aja saya mah. Yang penting pergi selamat, pulang selamat,” sambungnya.
Sambil mendengar Mang Aco berbisik, mata kita tetap melihat ke atas dan sesekali ke bawah. Melihat ada di antara kita yang ketakutan, akhirnya saya menganjurkan bukan untuk berhenti melainkan agar tak henti mengingat Tuhan dan selalu beristighfar.
“Lo semua orang Islam kan, ingat Tuhan dan perbanyak istighfar, hayu jalan lagi, fokus jangan jelalatan dan jangan kosongkan pikiran di tempat beginian,” kata saya sambil membungkuk karena carrier yang saya bawa ‘setinggi gunung’.
Semak-semak setinggi dua meter hingga lebih juga turut memicu aura mistis di situ. Belum lagi turunnya kabut dan intensitas menabrak wajah dan telinga semakin mengacu detak jantung saya.
Kita terbawa angin hingga kesini.
Niatnya meringankan penat dalam otak sisa-sisa pening setelah melalui geliat kami bersama, tapi dalam perjalanan kami serasa dibredel teror mistis. Ini bukan dahulu, sepertinya serasa baru kemarin atau masih hitungan jam kamibberdiri di situ. Kami mulai kembali berjalan, menembus kabut bak membuka gorden di kantor.
Hussssssssssss angin tipis membawa kabut dan menabrak wajah serasa dingin sekali.
“Kalau normal (siang) ke Kolle berapa jam mang,” tanya Raksi pada Mang Aco. “Paling 4 jam kang, kalau dari rumah saya” jawab Mang Aco juga.
Tak terasa kita sudah separuh jalan. Jam di tangan saya sudah menunjukkan Pukul 23.48 WIB. Keringat membasahi kemeja lapangan saya, rasanya ingin membuka jaket pada saat itu. Rif’at yang ingin menghangatkan tubuh bergegas membuka carrier-nya, dan mengambil kompor untuk memasak kopi, yang sebelumnya juga menawarkan ke kami.
“Jangan nyampah bro, masukin sampahnya ke carrier, biar di bawa pulang,” kata saya.
“Iya bro,” jawab Rif’at singkat.
Sambil beristirahat dan menguyup kopi yang cepat sekali menjadi dingin, mata saya bergerak cepat sekeliling area peristirahatan, karena Raksi tidak ada di kerumunan.
“Raksi, di mana!!!,” teriak saya.
“Di sini dir, lagi buang air kecil,” kata Raksi menjawab dengan panggilan sayangnya ke saya (dir).
“Pakai botol gak!?,” tanya saya lagi.
“Iya dir,” jawabnya.
Mengetahui Raksi yang sedang buang air kecil dan tahu sopan santun pada lingkungan sekitar, saya lega. Tapi kelegaan itu singkat saat Raksi berlari hingga terjatuh tersungkur seraya menutup matanya dengan telapak tangannya.
“Dir kaki dir, kaki dir, putih pucat uratnya sampai kelihatan dir,” teriak hingga terseguk-seguk Raksi ketakutan.
“Astaghfirullah, di mana kang?,” tanya Mang Aco.
Riuh dahan bertabrakan dengan dahan lainnya terdengar, kabut tebal pun pindah dari pandangan. Menambah suasana menjadi mencekam yang membuat mata kita melihat ke sekitar. Sekarang semua terlihat, karena kabut tertiup angin. Yaa.. meski hanya siluet hitam panorama disekitar. Sangat terlihat ketakutan pada Raksi, karena dadanya kembang kempis. Hingga Jaki mengambilkan air minum untuknya baru ia terlihat sedikit tenang, meski wajahnya masih ditutup tangannya.
“Rak, ada apa,” tanya saya.
“Kaki dir, kaki. Raksi gak kencing sembarangan kok, Raksi pake botol. Cuma pas Raksi lihat di bawah di semak ada kaki air yang sudah di botol gak sengaja jatuh dir,” papar Raksi.
“Istighfar Rak, istighfar,” kata saya.
Terlihat bibir Raksi mulai beristighfar dan agak kelihatan tenang juga membuat suasana kembali tidak tegang.
“Ayo bro packing lagi, makin lama kita istirahat makin lama juga kita sampe,” kata saya kepada rekan-rekan.
Sambil merogoh kantong dan mengambil sebatang rokok, Saya hisap sambil berjalan. Pendakian kita mulai kembali pada Pukul 00.24 WIB.
Jaki yang lupa memasukkan speaker bluetooth-nya ke carrier-nya berinisiatif untuk menghidupkan musik agar suasana mistis hilang. Tak lama ia menghidupkan musik itu, wangi kembang kantil sangat tercium, padahal jurang. Bukan hanya saya saja yang mencium, ternyata yang lain juga mencium wanginya. Saya terkejut, sekitar sepuluh langkah dari terciumnya wangian tersebut, ada sesosok wanita berbaju putih bercahaya menaiki carrier Jaki. Sontak Jaki merasa ada yang aneh pada carrier-nya, sambil mengibaskan tangannya di bawah carrier-nya. Mungkin efek bertambah berat bebannya. Saya melihat jelas wajah wanita itu. Mata wanita itu melihat lurus ke mata saya dan berbicara lirih, “Matikan musiknya, mengganggu saja kalian ini.” Rupanya dia tidak senang dengan musik yang di putar oleh Jaki di speaker bluetooth-nya.
“Mang Jek, musik matiin mang. Tolong,” kata saya sambil menyusul jalannya.
“Biarin mang, agak tenang kalo ada musik. Lagian di sini enggak ada siapa-siapa, enjoy aja mang, jangan kaku,” tolaknya.
Dari sini teror mistis menggerayangi disetiap langkah kita dalam pendakian kali ini.
Setelah permintaan saya ditolak Jaki, wanita itu bukan hanya duduk di atas carrier-nya, ternyata dia mulai melompat-lompat. Rasa cemas karena takut terjadi hal yang tidak diinginkan pada Jaki, saya terpaksa meremas pundak Jaki setelah mengucapkan kalimat konyol itu. Seraya saya melihat wajah wanita itu merubah bentuknya menjadi buruk rupa.
“Mang matiin, ada kuntilanak duduk di carrier Lo,” bentak saya.
Dan pada saat itu juga, Jaki tergopoh-gopoh mematikan musik kerasnya itu.
“Serius Lo mang?,” tanya Jaki.
Tak menjawab saya ketika itu, karena sosok itu masih ada dan rasa kesal masih menguasai saya.
Tak tahu apa yang dilakukan Mang Aco pada saat itu, karena mungkin dia juga melihat sosok astral yang sama. Bibirnya terlihat komat-kamit dan akhirnya membuat sesosok wanita itu hilang seketika.
“Mang, meski kita di kantor, di rumah atau di tempat keramaian lainnya orang itu beda-beda mang. Ada yang suka dan ada juga yang enggak suka sama musik yang kita putar. Logikanya, kalau di hutan belantara begini, saat enggak ada orang menurut lo siapa yang enggak suka?,” papar saya sambil meraut rambut kebelakang.
“Iya Mang gue minta maaf dan enggak bakal ulangin lagi. Gue nyesel mang,” sambutnya.
Belum selesai kita mengatur napas karena kejadian tadi, teror mistis itu datang lagi. Kali ini ada tiga orang pendaki mengenakan pakaian berwarna hijau seragam berjalan cepat dan tak menoleh sama sekali, bahkan ditanya pun tak menjawab.
“Bang, naik bertiga aja. Tujuan mana bang,” tanya Rif’at yang kegirangan.
Melihat ada pendaki dan sudah membayangkan akan ramai dalam perjalanan pun punah, karena terlihat orang-orang itu sangat aneh. Apalagi setelah mendengar penjelasan Mang Aco. Jalur ini di tutup ketika malam, penjagaannya ketat, kecuali dibawa dan di antar penduduk setempat pendakiannya. Akhirnya kita semua menyimpulkan bahwa ketiga pendaki itu bukanlah manusia, melainkan mahluk halus.
Saya mengajak yang lainnya untuk berbincang dan menghisap rokok sejenak, agar suasana tidak gaduh karena ketakutan. Sebab, untuk nge-camp di situ sudah pasti tidak bisa, karena jalur pendakian di situ hanya setapak.
“Sekitar 500 meter lagi ada tanah lapang, anjuran saya kita camp di situ nya kang,” kata Mang Aco.
“Iya mang,” jawab Kami bersamaan.
Kami kembali berjalan, menyongsong tempat lapang yang menurut Mang Aco sudah tak jauh lagi. Napas saya tersengal-senggal, karena dari bawah pada saat Raksi melihat kaki, sudah tak menemukan jalan yang datar. Kabut masih setia mengiringi perjalanan kami. Kali ini benar-benar hingga lampu senter pun tak tembus, karena sangat tebal kabutnya. Apalagi harus melihat dan menyusul tiga orang pendaki misterius tadi, jika memang mereka adalah manusia. Raksi sangat terlihat pucat, saya tidak tega melihatnya. Sesekali saya menepuk pundaknya untuk menyemangatinya.
Mang Aco memberanikan diri untuk memerintahkan kami untuk berhenti berjalan. Ada yang aneh di muka beliau. Cemas, tak setenang sebelumnya.
“Ada apa Mang Aco?,” tanya Rif’at.
“Ada tali enggak untuk mengikat pinggang kita satu sama lainnya, kabutnya makin tebal euy?,” kata Mang Aco.
“Ada mang tali karmantel di carrier saya, sebentar saya ambil,” kata saya.
Kabut memang semakin tebal, saya berharap agar secepatnya kita sampai di tanah lapang yang menurut Mang Aco sudah dekat tadi. Tak selang kemudian kita saling mengikatkan tali karmantel tersebut ke pinggang. Posisi berubah sekarang, kecuali Mang Aco yang dari awal berjalan di depan. Di susul saya, Raksi, Rif’at dan terakhir Jaki. Tebing yang agak condong membuat saya yang membawa carrier ‘setinggi gunung’ tersebut semakin membungkuk. Jalan kita semakin melambat karena jarak kita satu sama lainnya tak jauh. Dengan susah payah melewati jalur itu, akhirnya kita sampai di tanah lapang yang di maksud.
“Alhamdulillah,” ucap Saya sambil menarik napas dalam-dalam.
“Nya kang, kita dirikan camp di sini, kalau mau lihat sunrise di sini juga bisa. Kalau mau ngejar ke Koll mah saya gak sanggup malam ini, kasihan di akang-akangnya saya mah. Lagian kan kalian punya satu hari setengah lagi yah, jadi sabar yah kang, mohon maaf anjuran saya mah di sini dulu,” tutur jelas Mang Aco kepada kami.
Hanya saja Mang Aco kala itu tak percaya waktu sudah menunjukkan Pukul 4.31 WIB. Artinya, kita berjalan hampir enam setengah jam dan belum sampai ke Puncak Koll. Tentu hal ini baru dialami Mang Aco. Karena menurutnya, untuk mencapai puncak meski pada malam hari, dirinya hanya membutuhkan waktu sekitar tiga jam saja. Sementara saat di lapang yang akan kami dirikan camp pada saat itu, untuk mencapai puncak Koll masih sekitar satu setengah jam.
Malam yang tak tertembus pandang merayu agar mata kita pada saat itu terwanti-wanti agar tak jelalatan. Hal itu pasti tentang norma dan kesopanan pendaki. Karena, sebelum kaki kita menginjakkan di sini, kita sudah sepakat akan berbuat baik dan menjaga lingkungan. Perut yang lapar dan udara yang semakin menusuk hingga tulang, kami terburu-buru untuk nyalakan api unggu dan kompor.
Kita beristirahat di dataran lapang. Lalu mata Kami melihat ke setiap sudut, di tempat Kami mendirikan tenda, ternyata sudah ada tiga tenda yang berjejer rapi.
Sementara yang lain mendirikan tenda dan menyalakan api, saya bergegas menghampiri tenda-tenda tersebut. Gelap dan nyaris tanpa cahaya ketiganya, meski sudah hampir pagi. Tenda yang berwarna gelap membuat dari kejauhan terlihat samar-samar. Ya… tapi saya yakin itu tenda sungguhan. Sambil merogoh kantong dan membawa rokok untuk bahasa bertanya, saya berjalan kearahnya.
“Pagi bang,” tanya saya sesampainya di tenda-tenda itu.
“Assalamualaikum,” kembali saya ucapkan salam.
Dua kali saya menyapa, tapi tidak ada sautan dari tiga tenda itu. Akhirnya saya urungkan untuk menyapa karena takut mengganggu isitrahat mereka. Berpikir positif, bahwa mungkin mereka sedang tertidur nyenyak, saya bergegas balik ke kawanan.
Sesampainya saya di kerumunan, rekan yang sambil sibuk berberes-beres saya selipkan kata dikesibukannya, bahwa tidak ada satupun yang membalas sapaan saya di tenda-tenda itu. Saya mengajak rekan-rekan untuk tetap berpikir positif serta tidak akan ada gangguan lagi pada Pagi itu.
Perut yang lapar dan cuaca pagi hari yang mendingin memang cocok untuk menyantap singkong rebus. Teror mistis ternyata membuat semua lupa. Raksi yang biasa tak henti santap makanan ringan saja, beberapa jam dia bisa berpuasa.
“Enggak aneh sih, kan waktunya sudah pagi. Apalagi jam-jam ini orang lagi enak-enaknya mimpi bro. Mungkin mereka lelah,” papar saya.
Kami putuskan untuk tidak tidur hingga matahari terbit. Karena pendakian ke puncak Koll belum selesai. Canda tawa menghangatkan kita, tak lupa sesekali saya mengingatkan untuk tidak berbicara tak lazim kepada teman-teman. Riuh angin yang membuat pagi yang dingin semakin memunculkan kehebatannya. Bahkan, kopi yang panas saja dengan waktu yang singkat menjadi dingin.
Di sini mulai terjadi hal aneh lagi. Waktu hampir subuh, suara orang bershalawat di tempat-tempat ibadah terdengar sangat kecil. Kabut tersibak dan Kami semua kaget, tiga tenda yang berjejer itu sudah tidak ada. Sontak jantung saya berderap cepat, kaki pun ikut bergetar rasanya. Sebagian diantara kita, Raksi dan Rif’at berada di dalam tenda pun ikut keluar ketika saya beristighfar keras.
“Astagfirullah!!!,” teriak saya.
Saya bertanya-tanya, lalu camp siapa yang saya datangi pada saat itu. Jumlah pendaki misterius yang kita temui di bawah yang berjumlah tiga orang dan tiga tenda menghilang apa ada kaitannya?. Rasa cemas dan lainnya membuat saya sulit berpikir panjang.
Mang Aco pun ikut terkejut, lalu mendekati lokasi tiga camp tersebut. Dirinya bingung, kata dia selama ia mengantarkan pendaki tak sebanyak ini gangguan gaib ke rombongannya. Keingintahuan saya apa yang sedang dilakukan Mang Aco kesana menarik saya menghampirinya. Mang Aco mengeluarkan tiga batang rokok lalu membakarnya. Entah untuk apa tiga rokok itu dibakarnya, seraya bibirnya yang terlihat sedang berkomat-kamit.
“Ayo kang kita packing. Udah mulai pagi kang. Nanti kita kejar sunrise di puncak,” ajaknya kepada saya.
Packing di mulai, meski mata hari sama sekali belum menunjukkan merahnya. Taka da suara saat packing. Senyap setelah kaget bukan main. Untuk menghangatkan suasana dan badan, sembari berjalan Saya menyalakan rokok. Pendakian Puncak Koll dimulai.
Ketika kejadian semalam hingga pagi tadi terjadi, rasanya saya ingin sekali untuk menjadi orang yang taat agama, tak pernah meninggalkan amalan-amalan yang dianjurkan. Karena, sejatinya orang yang tak pernah meninggalkan perintah-perintah itu adalah orang yang dijauhi mahluk halus.
Penyesalan pada diri saya sangat besar. Apalagi setelah kejadian-kejadian itu nyata dijalani saya. Penyesalan yang sangat besar pada diri saya adalah, belum berubah menjadi orang baik dan taat agama. Ingin rasanya bertaubat dan belajar agama. Karena, munculnya hal gaib saja saya masih takut. Betapa bodohnya saya. Padahal, mahluk halus yang menampakan tidak akan menyakiti kita, melainkan hanya menakuti.
Asap mengepul dari depan hingga kebelakang dalam perjalanan, karena semua ramai-ramai merokok untuk menghilangkan dingin.
…….
Sesampainya kami di Puncak, belum ada pendaki yang mendirikan tenda di sana, meski hari itu hari weekend. Itu membuat kami yakin bahwa tiga tenda di dataran lapang di bawah adalah mahluk halus yang hendak menakuti kita.
Sunrise merayu kami untuk mengambil gambarnya. Terlihat perkampugan dari atas. Rumah-rumah bagaikan titik hitam di kertas, sangat kecil. Udara puncak yang sangat khas membuat badan ini tertarik untuk cepat mendirikan tenda. Mata sayup yang belum tidur membuat lupa daratan untuk sarapan.
“Bro ayolah diriin camp. Udah ngantuk banget ini,” ujar saya.
Karena kami bawa dua tenda, semua tim termasuk Mang Aco ikut membantu mendirikan camp. Di sini mulai ada suara kencang diantara kita, canda tawa dan lainnya. Matahari semakin hangat, kabut pun mengumpat untuk mengisi tenaga dinginnya untuk nanti malam.
Tenda pun berdiri, alat-alat masak pun dikeluarkan. Lapar memang, tapi rasa ngantuk mengalahkan rasa lapar saya kala itu.
“Selesai makan, makanannya di masukin ya. Banyak binatang liar di sini,” kata Mang Aco.
Sengaja memang mendirikan camp di bawah pepohonan, karena saat siang hari camp terhalangi pepohonan agar kami bisa istirahat. Karena semalam adalah malam yang panjang untuk dilewatkan.
Dan akhirnya mata terpejam.
…….
Lelah membuat saya terbangun hingga kurang lebih Pukul 15.30 WIB. Raksi dan Rif’at juga belum terbangun, sementara Mang Aco dan Jaki sedang asyik berbincang di luar tenda. Perut yang belum terisi saya bergegas cari sesuatu untuk mengganjal. Tak lama selesainya makan, saya bergegas untuk menghampiri Mang Aco dan Jaki. Sesampainya saya, Jaki permisi untuk memotret sekeliling.
“Mang gue permisi mau motret dulu ya,” pinta Jaki.
“Ya Mang hati-hati,” jawab saya.
Pada saat itu, meski sudah sore. Pendaki sama sekali belum ada yang mendirikan tenda. Rasa-rasanya memang di hari itu tidak ada pengunjung di bawah yang naik kesini. Artinya, nanti malam kembali hanya ada kita saja.
……
Berbincang dengan Mang Aco atas dikejadian semalam membuat bulu kuduk saya sempat berdiri. Kata dia, selain hal-hal yang kita temukan, yang tak terlihat kita juga banyak yang dilihatnya. Hampir pada setiap semak diperjalanan ada yang mengintai dan mengikuti kita.
Sebagai lawan bicara juga di bawah umurnya, saya menjadi pendengar saja. Mungkin itu yang lebih santun.
Ketika Mang Aco sebutkan ciri-ciri yang mengikuti kita kala itu, hati saya hanya mengingat Tuhan dan bertekad akan melakukan sopan santun di manapun saya berada. Kata dia, yang paling meremas hati saya adalah tindakan Jaki. Ucapan Jaki disebutnya sudah patal. Sehingga memancing semua mahluk yang mengintai kita. Apalagi saat membesarkan volume speaker-nya.
Mendengarkannya cerita, sembari merokok yang menempel di bibir tanda cemas saya kala itu. Tapi saya yakin bahwa setelahnya tidak akan terjadi apa-apa. Hiking kita di sini masih tersisa satu hari lagi. Di tengah-tengah cerita Mang Aco, saya sempatkan melihat sekeliling pegunungan yang hijau dan udara yang sejuk membuat hati tak percaya, bahwa di Gunung Koll ini terdapat cerita yang memancing adrenalin. Rumput membentang hijau di bawah, rimbun pohon besar bergoyang-goyang tertiup angin menunjukkan keasrian dalam kengerian saya.
Dua kawan yang terbangun dari tidurnya, membuat perbincangan Mang Aco dan saya terhenti. Mungkin beliau tidak mau menceritakan hal tadi kepadanya dan takut merubah kegembiraan saat nge-camp di situ. Sambil menyantap mie yang direbusnya, Raksi dan Rif’at saya tinggal untuk memanggil Jaki untuk ikut meriung dan bersiap melihat sunset.
“Jaki Kemana, Dir,” tanya Raksi ke saya.
Tak terasa berbincang dengan Mang Aco, rupanya Jaki sudah satu jam lebih belum juga kembali. Saya yang tidak tahu Jaki diarah mana memotretnya bergegas mencari kesegala penjuru.
MENGEJAR POSE MONYET
Tepi hutan saya teriak, tapi tidak ada sautan Jaki. Saya yang curiga Jaki tersesat bahkan ada hal yang tak diinginkan terjadi pada Jaki, lalu bergegas kembali ke kerumunan.
“Mang Jaki enggak ada,” ucap saya.
Sontak yang lainnya terkejut hingga berdiri. Saya menceritakan kronologis pamitnya Jaki memotret dan hingga kini belum pulang. Hari mulai petang, kami harus ambil keputusan untuk mencari dan tidak bisa berdiam diri.
“Yok Packing, camp enggak usah di bongkar. Hanya persediaan makanan dan peralatan yang kita bawa. Barang-barang yang memancing binatang liar masuk agar di bawa. Cari batu, taruh di dalam, supaya tenda enggak terbang,” jelas saya kepada tim.
Sunset yang kami tunggu memerah, tapi yang kita fokuskan hanyalah Jaki. Terlihat Mang Aco yang sedang sibuk rapihkan tenda satunya, saya sempatkan untuk menghampiri Raksi dan Rif’at.
“Berdoa aja apa yang kita bisa nanti, minta sama Allah. Mahluk halus tugasnya cuma ganggu-ganggu aja, muncul hilang – muncul hilang, itu doang yang dia bisa, kita yakini dia enggak akan nyakitin kita,” papar saya kepada tim.
Pencarian pun kita mulai. Kita bersiap menempuh perjalanan malam hari lagi. Ada rasa kesal dan kasihan pada Jaki. Tiap kali dia melakukan sesuatu pasti akan berujung patal.
“Handlamp, senter kepala sudah di charge,” kata Rif’at.
Meski masih terbilang sore, kali ini hutan tersebut nyaris tak masuk cahaya, meski waktu Pukul 17.03 WIB. Diantara Kami mulai berteriak Jaki, tapi tidak sekalipun ada sautan dari Jaki. Pikiran yang mulai sangat cemas, kaki gemetaran karena yang sedang kita hadapi adalah kejadian yang sangat jarang sekali kami temui.
Lebar jalan yang memang sedikit besar, membuat susunan pencarian tidak beraturan. Namun saya tetap di belakang. Pohon tinggi menjulang, semak belukar ada di sisi kanan dan kiri memang tak bisa dipungkiri, nyali saya hampir pecah saat itu. Apalagi saat seringnya mendengar gonggongan anjing.
Pencarian sudah satu setengah jam dan waktu menunjukan sudah Pukul 18.30 WIB Jaki belum ditemukan. Hati yang cemas dan takut terjadi apa-apa dengan Jaki semakin menjadi-jadi. Tak karuan otak ini. Keringat terus menetes di dahi, mungkin karena belum sedingin seperti semalam.
Kami tak bisa berpencar. Untuk petunjuk jalan masih kita percayakan dengan Mang Aco. Kabut masih jauh di atas kepala dan tampilannya pun tak setebal kabut semalam ketika di tebing dan jurang. Merasa sepenanggungan dengan tim, saya tahu apa yang mereka (Raksi dan Rif’at) rasakan. Matanya yang melihat panjang untuk berkeliling menandakan khawatir ada sosok yang muncul tiba-tiba.
Kabut mulai tebal, pandangan kami sangat kabur tak seperti semalam. Kami berhenti sejenak di batu besar dan untuk minum. Tidak ada raut senyuman di wajah kami, semua bermuram dan cemas, karena waktu sudah Pukul 21.19 WIB dan Jaki pun belum ditemukan. Setiap penjuru kami sudah berteriak, hanya suara kami saja yang menggema.
Mang Aco meminta kami untuk keluarkan gelas sebanyak empat buah, kopi dan teh. Tak lupa kompor pun dimintanya untuk memasak air. Mang Aco yang melakukan sendiri dan kami semua memperhatikannya. Ternyata beliau membuat kopi manis karena di aduk, kopi pahit karena tidak di aduk, teh pun begitu.
Di atas batu beliau melakukan ritual tersebut. Kami yang tidak bisa apa-apa selain berdoa hanya bisa melihat apa yang sedang dilakukan Mang Aco. Kami hanya bisa berdoa agar selamat dan tidak ada hal yang tidak diinginkan terjadi pada kami.
Selesainya ia melakukan ritual, kopi dan teh kami tinggalkan di situ. Kali ini kami berjalan menuju ke semak dan beliau membukanya dengan golok miliknya. Sekitar tiga meter setelah di buka semak-semak dengan cara mengayun-ayunkan golok miliknya itu, terdapat jalan yang sama besarnya dengan jalan yang sebelumya. Tapi kabut di dalam hutan sangatlah tebal. Sehingga Mang Aco menganjurkan agar tali karmantel digunakan seperti semalam. Kita pun mulai mengikat satu sama lainnya. Jalan yang mulai sulit terlihat, membuat kita melambatkan langkah kita.
Dalam perjalanan setelah ritual yang dilakukan Mang Aco, ada yang sangat mengganjal. Perjalanan kami mulai sesak dan seperti dihimpit bebatuan. Dari atas seperti ada yang menekan sehingga jalan kami harus merunduk. Sekitar sepuluh langkah dari kejadian itu, langkah kami yang hampir jongkok Mang Aco yang berjalan di depan teriak tergesa-gesa menganjurkan agar kami putar balik secepatnya.
“Putar balik kang, putar balik. Ayo cepat kang, cepat!!,” teriak Mang Aco.
Kami yang tidak paham dan memang dari awal kami patuhi intruksi beliau, akhirnya kami berbalik arah. Sesuatu hampir menimpa kami. Kabut tebal bak menutup mata tadi setelah berbalik badan, seketika lenyap. Jalan sempit yang membuat kami merunduk hingga membungkukkan badan ternyata adalah jurang, berarti tadi kami sempat melayang. Tak terbayangkan jika melanjutkan selangkah lagi saja, apa yang terjadi pada diri kami semua.
Sempat tak sadar hingga saya tampar pipi sendiri dengan keras, kami sedang tak bermimpi. Tak percaya jika menampar sendiri, lalu Rif’at saya perintahkan untuk menampar sekencang-kencangnya hingga saya tersungkur, ternyata kami tidak sedang bermimpi. Keanehan demi keanehan terjadi. Hal ini yang membuat saya tak henti beristighfar, terakhir melihat jam di tangan saya Pukul 21.19 WIB saat Mang Aco mulai ritual, dan ketika kabut hilang berubah menjadi Pukul 17.19 WIB.
“Kang ayo secepatnya kita kembali,” perintah Mang Aco.
“Iya Mang,” jawab Kami bersamaan.
Sementara derap jantung masih berdetak kencang, napas masih kembang kempis, kaki dan tangan bergetaran, mungkin bibir saya pun juga terlihat pucat karena down. Kebingungan masih berputar diotak saya hingga sekarang. Masuk kedalam dimensi apa kita.
Dalam perjalanan ke camp, saya melihat tidak ada jalan yang sulit. Seperti berbeda jalurnya dengan berangkat pencarian. Kali ini jalan lebih dominan terang. Tapi kecemasan kami terhadap Jaki belum hilang, karena Jaki belum ditemukan. Khawatir dengan keselamatannya, karena di gunung ini masih banyak hewan buas.
…….
Sesampainya kami di camp, hal yang mengejutkan terjadi kembali. Jaki terlihat asyik mengambil gambar sunset. Seperti orang yang tak bersalah, dia hanya memanggil kita dan menyalahkan kepergian kita.
“Lo semua pada dari mana sih,” kata Jaki.
Rupanya Jaki juga tak sadar bahwa kami setengah mati cemas mencarinya. Kegelisahaan saya pun pecah, tak terasa air mata menetes deras karena melihat Jaki baik-baik saja. Hanya saja saya sudah tak tahan untuk menceritakan apa yang terjadi pada kami di hutan tadi. Seraya perlahan saya menanyakan kemana saja Jaki hunting dan membuat resah banyak orang.
“Gue liat ada monyet kelabu gede mang di atas batu. Pose itu yang gue pengen ambil, karena pose itu bagus banget. Pas gue mau jepret (foto) itu monyet loncat ke dahan tapi enggak jauh, Cuma loncat balik lagi, begitu terus. Di tengah ada batu gede mang, nanti kita sebelum pulang foto-foto dulu ya di situ,” kata Jaki yang membuat kami berempat menganga.
Bersambung…