KARAWANG, Spirit – Meski Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karawang telah menetapkan status tanggap darurat bencana alam, sejak Rabu 26 Februari sampai dengan 10 Maret 2020. Namun Pemkab masih dianggap kaku dan lamban dalam menangani bencana yang terjadi, serta tak memiliki kesiapsiagaan dalam mengantisipasi bencana alam seperti banjir, hal tersebut diutarakan seorang praktisi kebencanaan dan juga salah seorang relawan ForkadasC+, Willy Firdaus kepada Spirit Jawa Barat, Kamis (27/2/2020).
Tercatat ada 26 kecamatan terdampak, mulai dari banjir genangan hingga banjir luapan sungai. Seperti kejadian banjir genangan di Kecamatan Rengasdengklok, yang mengakibatkan beberapa akses jalan dari Batujaya ke Rengasdengklok terputus. Menurut Willy Firdaus, banjir genangan di Kecamatan Rengasdengklok harusnya tidak terulang kembali.
“Banjir Genangan di Kecamatan Rengasdengklok sering terjadi dan harusnya Pemkab sudah bisa mengantisipasi serta beradaptasi pada kejadian ini” tegas Willy.
Willy menganggap bahwa masyarakat telah tangguh dalam menghadapi bencana, namun Pemkab belum. Hal ini terlihat dari kaku dan lambannya penanganan bencana banjir di kecamatan Rengasdengklok.
“Pemkab belum memiliki kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana sehingga terlihat kaku dan lamban,” katanya.
Willy menegaskan perlunya peringatan dini agar Pemkab memiliki kesiapsiagaan, karena tanpa kesiapsiagaan tidak akan paham apa yang harus dilakukan.
“Genangan di Desa Kertasari, Desa Rengasdengklok Utara dan Desa Rengasdengklok Selatan bisa diminimalisir sebelum memasuki musim penghujan dengan membersihkan drainase. Membersihkan drainase utama dan sekunder merupakan bagian dari pengurangan risiko bencana yang seharusnya dilaksanakan saat musim kemarau. Jika ada drainase yang menjadi tanggung jawab Pemprov, Pemkab harus segera berkomunikasi dan desa melalui kecamatan digerakkan untuk bergotong royong karena ini menyangkut kepentingan bersama” tutur Willy.
Perihal kondisi tanggap darurat, Willy memberi saran kepada Pemkab untuk memompa genangan air dan membuangnya ke Irigasi Tarum Utara.
“Masalah genangan di Kertasari dan Rengasdengklok Utara karena drainase utama yang disamping jalan provinsi meluap sehingga air dari pemukiman tidak tertampung, Dalam hal ini Pemkab disarankan berkomunikasi dengan PJT II sebagai penanggung jawab Bendung Walahar dan Irigasi Tarum Utara harus dilibatkan, untuk membuat rencana kontinjensi. Ketika terjadi banjir genangan di Rengasdengklok PJT II diharapkan mampu mengurangi debit irigasi sehingga genangan bisa dipompa ke irigasi. Pemompaan genangan air ke badan Sungai Citarum malah menambah beban luapan sungai dan ini berbahaya bagi masyarakat disepanjang bantaran,” jelasnya.
Willy yang juga lulusan Magister Manajemen Bencana UPNV Yogyakarta, berharap pembenahan drainase di Kecamatan Rengasdengklok harus menjadi prioritas pembangunan Pemkab.
“Jika Rengasdengklok akan beranjak menjadi kota, maka drainase yang baik adalah kuncinya. Hal ini disebabkan muka air tanah dangkal di Kecamatan Rengasdengklok rata-rata hanya 0,24 – 1,2 meter dari permukaan tanah kedalamannya. Semakin dangkal air tanahnya, maka akan semakin cepat jenuh tanahnya dan saat jenuh maka berakibat banjir genangan. Tahun 2018 Bara Rimba pernah melakukan pendataan ratusan sumur gali di Rengasdengklok dan hasilnya muka air tanah dangkalnya sangat rendah,” kata Willy.
Pengurangan risiko dengan pembangunan serta normalisasi drainase, lanjut Willy, jauh lebih murah dibandingkan dampak yang diakibatkan bencana banjir genangan di Rengasdengklok.
“Roda perekonomian masyarakat kecil menengah akan terpukul akibat banjir genangan, ini akan meluas dari bencana hidrometeorologi menjadi bencana sosial jika tidak dikurangi risikonya. Pembuatan drumpori dilingkungan sekolah, pertokoan dan pabrik juga dinilai akan mengurangi risiko banjir. Beton dihalaman bangunan pemerintah dan niaga mengurangi meresapnya air hujan kedalam tanah, drumpori sudah diaplikasikan di Bandung dan cocok untuk wilayah hilir yang memiliki tanah berlempung,” pungkasnya. (ist/dar)