SEJARAH DALAM BALUTAN SASTRA

Oleh : PUPUNG PRAYITNO

Literasi sejarah – Fiksi
Novel tentang sejarah Kerajaan Sunda yang cukup fenomenal adalah dwilogi karya E.Rokajat Asura (ERA), Prabu Siliwangi dan Wangsit Siliwangi. Sumber-sumber sejarah yang ERA gunakan sebagai dasar rujukan bercerita cukup melimpah, dari literasi cetak hingga rumah-rumah alamat website. Leluasa baginya dalam meramu alur kisah dengan data dan artefak sejarah yang lengkap.
Membaca dan menengarai novel Prabu Siliwangi (2009) – bagian pertama – yang berkisah pada penguasa Pakuan, Prabu Siliwangi (1482-1521), putra Dewa Niskala,berhasil mengantarkan Pakuan mencapai puncak kejayaan. Sosok raja digdaya yang dihormati rakyat dan dikagumi musuh, berhasil menyatukan Kerajaan Sunda dan Galuh, yang memiliki bala tentara (belapati) maha kuat.
Peran fiksi dalam plot ini justru diramu pada peristiwa “perseteruan” Prabu Siliwangi dengan Putra Mahkota, Walangsungsang (lahir kl 1423), – putra dari Nyai Subanglarang – dalam hal prinsip “keyakinan”. Konflik terus berlanjut hingga “titik didih “, Walangsungsang memutuskan hengkang dari mewahnya kehidupan di Kedaton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Dan kemudian diikuti oleh adiknya, Larasantang (lahir kl 1426) keluar dari Kedaton. Pengembaraan Walangsungsang mengantarkannya pada Syaikh Nurjati untuk mempelajari Islam lebih mendalam lagi.
Puncak cerita berlabuh pada keberhasilan Walangsungsang mendirikan Padukuhan Cai Rebon (Cirebon) yang kemudian hari menjadi daerah otonom. Walangsungsang pun menjadi pemimpin padukuhan, bergelar Pangeran Cakrabuana. Pada masa ini – menurut catatan sejarah – adiknya yang lain, Rajasangara (lahir kl 1428), ikut dengan Walangsungsang.
Novel kedua, Wangsit Siliwangi (2009) diawali dengan ketegangan hubungan antara Pakuan Pajajaran dengan Cakrabuana penguasa Caruban Larang. Prabu Siliwangi mengendus adanya hubungan mesra antara Cirebon dengan Demak. Maka Surawisesa – putra Prabu Siliwangi dari Nyai Kentring Manik Mayang Sunda – diutus ke Malaka untuk berkongsi dengan Portugis (1511). ERA berhasil meramu “ ketegangan” alur antara Pakuan Pajajaran dengan Cirebon, antara ayah dan anak. Konflik semakin menukik ketika Tumenggung Jagabaya, utusan Prabu Siliwangi, tidak kembali ke Pakuan malah menetap di Cirebon dan memeluk Islam. Genderang perang nyaris ditabuh, jika Ki Purwagalih – purohita Pakuan – tidak turun tangan untuk mengingatkan Prabu Siliwangi bahwa penguasa Cirebon adalah darah dagingnya sendiri dan Syarif Hidayatullah adalah cucunya.
Di luar konteks novel Wangsit Siliwangi, dalam Burak Pajajaran, hancurnya kerajaan Pajajaran akibat gempuran Banten yang bersekutu dengan Demak dan Cirebon. Catatan sejarah menyebutkan penguasa terakhir Pajajaran adalah Raga Mulya Prabu Suryakancana (1567-1579). Di tengah suasana keterdesakan dan sebelum moksa , Raga Mulya memberikan nasehat, yang kemudian dikenal sebagai Wangsit Siliwangi. Lalu, korelasinya dengan judul novel Wangsit Siliwangi (yang berlatar Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi), adakah kesinambungannya? Jelas jauh panggang dari api.
Tetapi di sinilah letak kearifan sejarah dan sastra bisa melebur bahkan menghibur serta memperkaya literasi. Dan semoga saja ini dapat memicu budayawan,seniman dan sastrawan Karawang segera menambah pengayaan literasi sejarah-sastra tentang cerita Adipati Singaperbangsa, umpamanya. Ayo, siapa berani memulai?

Penulis adalah Perupa dan Penggiat Seni, Tinggal di Karawang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *