KARAWANG, Spirit
Pelaksanaan pekerjaan proyek rehabilitasi Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) mengalami keterlambatan. berdasarkan hasil investigasi di lokasi kegiatan, pekerjaan yang berakhir kontraknya pada tanggal 23 November 2017 lalu, masih belum beres. Hal itu tentunya perlu untuk ditindak tegas.
Pengamat pemerintahan dan akademisi, Ridwan Alamsyah mensinyalir, pekerjaan rehab 4 puskesmas sejak awal berjalan tidak semestinya dan fair. Sehingga, kesan yang ada terlalu dipaksakan, meskipun sebelumnya ada himbauan dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP) untuk menunda pekerjaan tersebut.
“Pastinya ada yang tidak beres dengan kepanitiaan lelang. Lihat saja, LKPP sudah memberi rambu-rambu, tapi masih saja dipaksakan untuk dilakukan pekerjaan rehab itu (puskesmas, red). Ini yang harus diselidiki, siapa yang menjadi aktornya,” kata Ridwan Alamsyah saat dihubungi Spirit Jawa Barat, Selasa (5/12).
Lebih lanjut Ridwan meminta pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Karawang untuk turun mengecek pekerjaan di lapangan. Hal itu, kata dia, karena sudah menjadi komitmen pihak Kejari yang akan mengawal seluruh proyek dan kegiatan Pemerintah Kabupaten Karawang. “Kami meminta, dengan fakta seperti ini (pekerjaan tidak sesuai kontrak, red), pihak Kejari turun untuk mengecek langsung,” tandasnya.
Diketahui, seperti salah satunya pekerjaan rehabilitasi total Puskesmas Cibuaya dengan anggaran Rp 2,7 Miliar tidak dapat diselesaikan oleh PT Dwikharisma Metrotama..
Sebelumnya, dengan fakta di lapangan seperti itu, Sekretrais Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Karawang, Nurdin Hidayat menegaskan akan menjatuhkan penalti terhadap kontrkatr yang tidak bisa menyelesaiakn pekerjaan.
“Kalau tidak tepat waktu, Ya kena pinalti, 1/1000 x nilai kontrak per hari, nanti kita lihat berapa hari keterlambatannya tinggal dikalikan saja,” jelasnya.
Kata Nurdin, berdasarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2010, Pasal 120 tentang sanksi, Selain perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1), Penyedia Barang/Jasa yang terlambat menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam Kontrak, dapat dikenakan denda keterlambatan sebesar 1/1000 (satu perseribu) dari harga Kontrak atau bagian Kontrak untuk setiap hari keterlambatan dan tidak melampaui besarnya Jaminan Pelaksanaan.
Nurdin mengaku, saat masih dalam pengerjaan, pihak Dinkes pernah memanggil pemborong untuk sekali lagi memastikan bahwa pekerjaan dapat selesai tepat pada waktunya.
“Termasuk saya juga pernah memanggil pemborong dan pelaksana pekerjaan, itu kewajiban mengingatkan. Kita kan sudah teken kontrak dan tidak bisa dibatalkan dengan asumsi pekerjaan tidak akan selesai pada waktunya, artinya kita tidak bisa memutus kontrak di tengah jalan kecuali dengan situasi dan kondisi tertentu,” tambah Nurdin.
Nurdin pun menjelaskan, Addendum dalam konteks keterlambatan pekerjaan ini, tidak dapat diberlakukan, karena bukan perubahan perjanjian kontrak.
“Tidak bisa itu, Adendum itu perubahan perjanjian kontrak dan harus ada dasarnya, kalau ada adendum tanpa dasar yang kuat itu cuma menguntungkan rekanan. Kontrak kerja kan komitmen dan kalau tidak komit ya kena pinalti, ini juga berpengaruh terhadap pelayanan terhadap masyarakat dan pihak penerima manfaat juga jadi korban atas keterlambatan pekerjaan tersebut,” tegasnya. (ist)