CILEBAR, Spirit
Sengketa tanah yang terjadi di Desa Tanjungsari Kecamatan Cilebar berbuntut panjang, setelah sebelumnya 3 orang terduga pelaku dibebaskan dari Lembaga Permasyarakatan Karawang. Pemilik tanah Nurlela Tambunan mengaku dirinya telah menjadi korban perampasan tanah melalui pemalsuan AJB yang di lakukan oleh oknum Kepala Desa Tanjungsari .
Nurlela mengaku jika tanah sawah yang ia beli sejak Tahun 1982 tersebut, dibeli oleh suaminya (Alm) B Manulang seluas 10360 meter persegi dari Yati bin Banjir. Tanah tersebut ia beli bersama ibu dan suaminya bersama pihak Agraria.
“Sudah disita buku besarnya oleh polisi. Bahwasanya polisi sudah menerima surat palsu otentik, bahwa mereka sudah membeli akta jual beli (AJB) palsu,” katanya.
Ia mengaku jika hal tersebut merupakan kejahatan pihak Kepala Desa, karena tanahnya tidak di perjual belikan.
“Itu murni pidana, gak mungkin pihak kepolisian langsung P21 jika bukan kejahatan murni, jadi tanah saya di perjual belikan. Sebelumnya tanah saya sudah di patok oleh orang agraria, tapi di cabutin,” ujarya melalui telepon seluler.
Masih menurut Nurlela, satu hektar tanah yang ia beli di cilebar. Kades Tanjungsari sampai bisa mengambil tanahnya separuh dengan memanggil preman-preman untuk mengambil tanahnya.
“Untuk mengambil tanah saya itu di tanami lah padi, lalu saya tegur. Namun dia berkelit dengan mengatakan hasil sewa dari lurah wawan,” ujarnya.
Lanjutnya setelah panen preman sebanyak 30 orang mengambil padi hasil panen tersebut, menurutnya pun ada bukti foto, jadi kasus ini murni pidana. Pemalsuan surat otentik, bukan ada tanah wakaf.
“Yang bikin akte, lurah sama camat cilebar, kalau tanahnya masih beralamatkan kecamatan tempuran. Saya tidak mau kalau kasus ini dianggap kasus sara karena berada di tanah wakaf, kalau pun itu tanah wakaf tentu harus ada orang yang menyerahkannya. Saya gak mau kalau ini jadi isu sara, tanah wakaf atau tanah masjid,” katanya.
Setiap membeli apapun dirinya mengaku sangat teliti, jadi saya beli tanah itu diukur, masih menurut nya ia belI bersama ibu dan suaminya, juga bersama pihak agraria saat itu,karena belum ada BPN. Lantas dibikin patok dan di saksikan, jadi selama ini dirinya merasa ditipu.
“Saya mengetahuinya tahun 2014, penggarap saya ganti-ganti orangnya. Selama ini yang jadi penggarap itu tetangga lurah wawan, jadi udah ada yang gak bener lah. Saya di boong-boongin tak ada masalah. Setelah penggarap saya terkahir orang belendung (Samin), baru ketahuan bahwa tanah saya di ambil separo. Setelah pak samin laporan, saya gak mau nuduh siapa-siapa, langsung saya laporan ke BPN, mendaftarkan pembuatan sertifikat, dikasihlah saya surat untuk di tandangani oleh lurah. Ternyata lurah wawan gak mau tandatangan, saya di paksa bikin surat perjanjian, bahwa tanah saya cuma ada 5000 meter persegi, tapi lurah bilang kalau ibu tidak mau menandatangani surat perjanjian, ibu keluar dari ruangan saya, saya di usir,” terangnya.
Lantas ia pun melapor ke polres Karawang, karena merasa tidak terima dengan pernyataan lurah wawan yang menyatakan bahwa tanahnya hanya ada 5000 meter persegi. Sedangkan di dalam akta ada 10360 meter persegi. Saya di paksa, dan saya tidak mau. Setelah di korek-korek, tanah saya sudah di perjual belikan oleh lurah wawan.
“Wakil anom dan oti bikin surat perjanjian, bahwa kalau ada terjadi apa-apa di kemudian hari, lurah wawan siap bertanggungjawab. Dan sekarang pernyataan itu disita polisi. Bahwa lurah hanya mau cuci tangan,” pungkasnya.
Sampai dengan berita ini dirilis, Nurlela Tambunan yang juga menjabat sebagai ketua PAC PDIP Rawamangun, menyebutkan jika kasus ini sudah dilaporkan ke Kejati Jawa Barat pasalnya kasus tersebut tidak ditindaklanjuti oleh Kejari Karawang. Terlebih lagi para terdakwa dilepaskan karena tekanan aksi massa dan jaminan beberapa tokoh.
“Aneh, terlalu berani, orang-orang penting kok tidak menghormati proses hukum,” pungkasnya.(dar)