Saksi Sejarah yang Terlupakan Oleh Neneng dan Cellica
Gunawan
Ketua LSM Sniper
Tepat 17 Agustus 2016 ini, tidak terasa 71 tahun sudah Bangsa Indonesia ini merdeka. Setiap pelosok di negeri ini dengan cara dan kebudayaanya masing-masing memperingati hari kebesaran titik balik balik diakuinya bangsa ini menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat oleh dunia, tentunya dengan pelbagai macam cita-citanya sebaga banga yang merdeka.
Di sekolah-sekolah, perkantoran, instansi militer, instansi Polri, swasta, maupun BUMN, semuanya bersuka-cita menyambut hari kemerdekaan ini. Bagi Bangsa Indonesia, kemerdekaan ialah terbebasnya negeri ini dari penjajahan bangsa luar selama lebih dari 350 tahun lamanya.
Namun makna kemerdekaan bagi setiap individu di dalamnya tentulah berbeda-beda. Ada yang mengartikan Merdeka berarti bebas, yang dimaknai lepas dari penjajahan, perhambaan, perbudakan, penyiksaan, dan lain sebagainya.
Namun ada juga yang berhenti dan berpikir sejenak dalam hiruk-pikukdalam perayaan kemerdekaan setiap tahun ke tahun. Setelah 71 tahun kemerdekaan, apakah kita sudah benar-benar merdeka? Merdeka sesuai jalan pikiran medeka kita ?
Dalam substansinya, merdeka untuk mendapatkan hidup layak, mengemukakan pendapat, bebas dari korupsi, dipelakukan manusiawi, bebas dari kemiskinan dan mendapatkan pendidikan bermutu, sudah kita dapat ?
Indonesia telah merdeka, tetapi perjuangan masih belum selesai, terlalu banyak cita-cita kita sebagai waga negara yang konon telah medeka yang belum kita capai.
Lalu bagaimana menurut bupati Kabupaten Karawang (Cellica Nurrachdianna) dan Bupati Kabupaten Bekasi (Neneng Hasananh Yasin) memaknai arti sebuah kemerdekaan? tentu keduanya akan memaknainya dengan bekerja keras dan mencurahkan seluruh jiwa raganya untuk pengabdian ke masyarakat !? Tetapi, yang ingin saya kemukakan dan ingatkan dalam tulisan ini, bahwa Bupati Karawang dan Bupati Bekasi yang saat ini sedang menjabat sayang sekali sedikit “lupa” akan neukleus (inti sel) semboyan yang dikumandangkan Bapak Bangsa kita ,Ir. Soekarno.
Jas Merah (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah). Pertempuran yang dilakukan para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan di front Karawang-Bekasi pada masa revolusi fisik (1945-1949), saat itu para pejuang kemerdekaan Ibukota memilih front Karawang-Bekasi untuk bergerilya melawan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) salah satunya Lukas Kustaryo, mengendarai sendiri lokomotif kereta api dari arah Cipinang, ketika sampai di Jembatan Bojong, jembatan yang berada di perbatasan Karawang-Bekasi, Lokomotif itu ditabrakkannya kepada kereta api penuh senjata dan amunisi milik Belanda yang datang dari arah berlawanan. Karena kegigihan Kapten Lukas Sutaryo itulah, tentara Belanda menjulukinya si “Begundal Karawang”.
Penting diketahui bahwa salah satu titik lokasi sejarah perjuangan kemerdekaan front Karawang-Bekasi adalah Jembatan Citarum Bojong dan Jalan Negara Lama (Daendels) mulai dari Jalan Raya Rel KA Tanjungpura Kabupaten Karawang sampai dengan Jalan Raya Pasar Bojong Kedung Waringin Kabupaten Bekasi. Jalan dan Jembatan (batas Karawang-Bekasi) yang berdekatan dengan Klentheng San Dji Kupoh tersebut merupakan saksi bisu perjuangan kemerdekaan. Jalan dan Jembatan itu yang saat ini kondisnya sangat tragis karena tidak pernah mendapatkan perhatian dari kedua pemerintahan daerah. Hal ini membuktikan bahwa kedua pimpinan daerah yaitu Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana dan Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin “GAGAL” dalam memaknai kemerdekan yang benar-benar berlandaskan kepada sejarah perjuangan para pahlawan kemerdekaan.