KARAWANG, Spirit – Dugaan penyalahgunaan kekuasaan kembali mencuat di tubuh Pemerintahan Desa Kertajaya, Kecamatan Jayakerta, Kabupaten Karawang. Sorotan tertuju pada penunjukan istri Kepala Desa sebagai Ketua Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), yang diduga dilakukan secara diam-diam dan tanpa melalui Musyawarah Desa (Musdes) sebagaimana diamanatkan regulasi.
Berdasarkan informasi yang diterima redaksi, penunjukan yang sarat konflik kepentingan ini disebut-sebut tidak hanya melanggar aturan (PP nomor 11 tahun 2021 pasal 7 ayat 1-red), namun juga disinyalir mendapat dukungan dari oknum pendamping desa. Proses yang seharusnya melibatkan partisipasi masyarakat justru dijalankan tertutup, mencoreng semangat demokrasi desa dan transparansi yang selama ini digadang-gadang menjadi ruh pengelolaan Dana Desa.
Lebih mengkhawatirkan, akta pendirian BUMDes hingga pengesahannya di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) telah diurus atas nama sang istri kepala desa. Sumber internal menyebut keterlibatan pendamping desa dalam proses ini, memperkuat dugaan adanya jejaring kolusi dan penyalahgunaan wewenang yang terstruktur dan sistematis.
Padahal, regulasi telah jelas menyatakan bahwa pengelolaan BUMDes harus melalui Musdes dan dipilih secara demokratis. Realitas di lapangan justru menunjukkan praktik nepotisme yang terang-terangan, mengabaikan prinsip partisipatif dan akuntabel yang seharusnya menjadi standar tata kelola keuangan publik di tingkat desa.
Parahnya, hingga memasuki pertengahan 2025, alokasi Dana Desa sebesar 20 persen dari Tahap I senilai kurang lebih Rp245 juta yang ditujukan untuk program swasembada pangan belum juga menunjukkan progres. Rencana yang meliputi penyewaan lahan sawah dan kebun masih sebatas wacana tanpa realisasi di lapangan.
Tak berhenti di situ, redaksi juga mendapatkan data bahwa Pemerintah Desa Kertajaya telah menyuntikkan penyertaan modal ke BUMDes sejak tahun 2018 dengan rincian sebagai berikut:
2018: Rp70.000.000
2019: Rp50.000.000
2023: Rp5.000.000
2024: Rp5.000.000
Namun, hingga kini tak ada laporan keuangan atau hasil usaha yang diumumkan ke publik. Dana rakyat ini seolah hilang dalam pengelolaan yang tidak transparan dan minim akuntabilitas.
Sebelumnya menanggapi hal ini, Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Kecamatan Jayakerta, Endang, menyatakan secara tegas bahwa istri kepala desa seharusnya tidak menduduki posisi Ketua BUMDes.
“Ya, tidak boleh. Apabila dapat menimbulkan konflik kepentingan,” tegas Endang kepada awak media baru-baru ini, Rabu (21/05/25).
Ia juga menekankan bahwa pergantian Ketua BUMDes hanya bisa dilakukan lewat Musdes.
Di tempat dan waktu yang berbeda, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Kertajaya, Jayadi, tak membantah bahwa posisi Ketua BUMDes memang saat ini dijabat oleh istri kepala desa.
“Betul. Kalau penggantian, belum ada informasi,” ujarnya singkat, seolah membiarkan praktik ini terus berjalan tanpa koreksi.
Situasi ini menambah panjang daftar ironi dalam pengelolaan Dana Desa yang kerap menjadi ladang subur bagi kepentingan segelintir elite lokal. Masyarakat pun patut bertanya: untuk siapa sebenarnya BUMDes ini didirikan ?