KITA ingin melupakan sejenak kegaduhan dan keruwetan hidup. Ini bukan berarti mengganggap konflik atau peristiwa di sekitar kita tidak penting diketahui. Kita sikapi saja bahwa itu sebagai buah konsekuensi dari dinamika sebuah kondisi keseharian yang tengah menuju perbaikan. Mudah-mudahan hikmahnya adalah kita sedang menuju perbaikan-perbaikan dalam berbagai aspek.
Pada ruang ini, kita sejenak ingin mengajak untuk mengulas soal orang inspiratif dalam konteks yang positif. Kenapa dikatakan demikian, karena ada juga orang yang berbuat jahat atau melakukan modus baru kejahatan karena terinspirasi dari orang lain, baik hasil membaca atau menonton.
Tersebutlah anak muda bernama Farianda Kharisma Putra. Dia rasanya pantas dijadikan inspirasi bagi anak-anak muda yang selama ini merasa hidupnya galau, khawatir mengahadapi masa depan, takut tidak sukses misalnya karena memiliki keterbatasan dari aspek ekonomi. Farianda, atau biasa disapa Fari, sosok anak muda pekerja keras, yakin untuk mengejar cita-citanya dan sangat menyadari akan kondisi keluarganya yang kekurangan.
Fari adalah mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang. Sambil kuliah, ia pun nyambi bekerja sebagai pelayan rumah makan pecel lele. Gajinya Rp 600 ribu sebulan, sebagian diberikan pada ibunya untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Ayahnya, pensiunan wartawan lokal kini sakit-sakitan dan ibunya mencari nafkah dengan menjual gorengan. Karena anak muda itu juga harus membiayai adiknya sekolah, ia pun membantu kawannya berjualan baju lewat online yang dia kelola.
Mahasiswa berkaca mata ini mengaku, awalnya kuliah nyaris keteteran karena selalu harus pulang dini hari. Namun irama kerja dan kuliah akhirnya ketemu juga. Bahkan ia mampu meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,8. Artinya nilai mata kuliahnya dipastikan rata-rata A. Atas prestasinya itu pula, dia mendapat beasiswa dari Pupuk Sriwijaya Rp 6 juta setahun. Uangnya katanya ia simpan untuk persiapan membuat skripsi.
Setelah menyelami kehidupan Fari, ternyata keterbatasan ekonomi bukan harus berhenti mengejar cita-cita. Sekalipun dia belum jadi apa-apa, namun bagaimana proses untuk mengejar harapan patut dijadikan motivasi. Sebagai mahasiswa, ia pun tepis rasa gengsi atau malu untuk kemudian menjadi pelayan rumah makan agar mampu survive dan bisa tetap kuliah. Sebagai anak muda, jiwanya pun demikian mulia karena mampu membantu meringankan beban orang tua.
Nah, sekarang rasanya tidak ada alasan lagi bagi generasi muda, khususnya anak-anak muda di Karawang untuk melepaskan kesempatan untuk sukses hanya karena meratapi keadaan. Tak perlu tejebak pada kebanggaan semu. Begitu banyak contoh orang sukses justru berangkat dari kesulitan. Kuncinya adalah ada pada kemauan, kerja keras, dan yakin akan masa depan. Psikolog mengatakan, rasa frustrasi jika dimenej dengan baik malah akan menjadi energi untuk berani melangkah dan berani melawan pada anggapan nasib buruk yang tengah menimpa kita. Sebagai anak muda, kita mesti berani bangkit, optimis. Kerja dan kerja.***