Membangun Pasar Tradisional

BEBERAPA waktu lalu,  ada yang patut  kita sambut atas rencana Pemerintah Kabupaten Karawang yakni akan  merevitalisasi pasar tradisional. Memang sudah sepatutnya bagi daerah yang memiliki nilai APBD di atas Rp 3 triliun (2015)  ini segera membenahi pusat kegiatan perekonomian masyarakat kelas menengah bawah ini. Salah satunya adalah Pasar Baru Karawang, yang berada di tengah kota.

Apabila mencermati suara-suara stakeholders atau pemangku kepentingan saat hearing di  Komsi B DPRD Karawang, sepertinya mereka memiliki semangat yang sama agar pasar tradisional di Karawang segera dibangun. Dengan demikian bisa diartikan, sebenarnya mereka sudah lama mendambakan sebuah pasar yang representatif, yakni pasar yang nyaman, tertib,  terpelihara, jauh dari kondisi semrawut, tidak teratur, becek, dan macet.

Akan tetapi sekalipun semua memiliki keinginan yang sama, yakni hadirnya pasar yang membanggakan, namun proses mewujudkannya biasanya selalu tidak mudah. Misalnya bagaimana melakukan perjanjian pembangunan antara pemda dengan pihak ketiga, yakni investor.  Lalu, bagaimana  ikatan jual beli kios antara pengembang dengan pedagang, siapa yang memiliki prioritas atas kios, dll. Hal-hal seperti itu selalu jadi persoalan. Orang pun selalu bilang, seribu masalah ada di pasar, tetapi sumber uang juga ada di sana. Karenanya orang akan berjuang dengan cara apa saja demi bisa menjadi bagian dari pasar.

Tentang hadirnya sebuah pasar tradisional di Karawang yang nyaman adalah dambaan masyarakat juga. Mengapa  demikian, karena sesungguhnya mereka malas jika untuk mendapatkan kebutuhan harus berjuang bersusah payah menembus kepengapan dan lorong yang becek. Tidak heran apabila suasana nyaman yang ditawarkan supermarket, menjadi daya tarik. Maka konsumen pasar tradisional pun sebagian kini beralih ke sana dan itu tidak perlu dicemburui.

Sebenarnya, mengapa tidak pasar tradisional pun berkonsep supermarket. Model-model pasar seperti itu sudah banyak. Ada semula wujudnya  pasar tradisional, setelah dibangun kemudian “bermutasi” menjadi pasar modern, pasar sehat, dsb. Sebenarnya mau dinamai pasar tradisional, modern, atau pun sehat, substansi kenyamanan bukan pada soal nama. Kenyamanan dapat terasakan apabila syarat-syarat dan pendukungnya terpenuhi.

Syarat yang dimaksud adalah bersih, teratur, pemilahan keringan dan basahan jelas, sanitasi baik,  lalu didukung oleh para pedagangnya memang berperilaku ingin bersih, ingin teratur.  Kemudian pengelola pasar menyediakan sarana kebersihan memadai, mulai ketersediaan  tempat  sampah, petugas pengangkut, hingga tempat sampah sementara (TPS) yang dilengkapi dengan pengolahan sampah. Apakah itu bisa? Ya, harus bisa.

Hal lain yang diharapkan masyarakat, dalam pembangunan pasar jangan sampai  menimbulkan konflik karena benturan kepentingan. Jika itu terjadi, maka alamat pembangunan pasar akan tertunda bahkan tidak jadi. Siapa tahu saat ini ada beberapa yang sudah ngintip ingin titip investor. Siapa mereka? Bisanya yang memiliki akses ke pusat kekuasaan. Ini memang harus diwaspadai. Karenanya, mari mengawalnya agar pasar tradisional pun punya martabat yang bisa dibanggakan*** 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *