“Surrogate Mother” dalam RUU Ketahanan Keluarga

Penulis: Aditya Wiguna Sanjaya

  • Pengajar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi/ Penerima Beasiswa LPDP

PROGRAM legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2020 telah disepakati oleh Pemerintah dan DPR, yang di dalamnya meliputi 50 Rancangan Undang-Undang (RUU). Beberapa rancangan undang-undang ternyata menuai polemik di tengah-tengah masyarakat, yang begitu menyita perhatian publik beberapa waktu terakhir ialah RUU Cipta Kerja. Selain RUU Cipta Kerja, terdapat pula RUU yang juga dinilai kontroversial, yakni RUU Ketahanan Keluarga karena dianggap melalui RUU tersebut negara telah masuk pada ruang privat warga negara, yakni keluarga.

Terlepas dari adanya kontroversi yang ada, dalam RUU tersebut terdapat salah satu substansi yang patut diapresiasi, yakni berkenaan dengan pengaturan mengenai larangan praktik sewa rahim wanita lain yang bukan istrinya atau yang biasa dikenal dalam dunia internasional dengan istilah surrogate mother. Pada intinya, surrogate mother adalah perempuan yang menampung pembuahan suami isteri dan diharapkan melahirkan anak hasil pembuahan. Dengan bahasa sederhana dapat dimaknai sebagai “ibu pengganti”.

Dalam RUU a quo digunakan diksi “surogasi”, dimana pelanggaran terhadapnya diancam dengan pidana penjara maksimal 5 tahun penjara dan atau pidana denda maksimal 500 juta rupiah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 32 ayat (1) juncto Pasal 141. Dalam penjelasan pasal 32 ayat (1) disebutkan yang dimaksud dengan “surogasi” adalah praktik sewa menyewa rahim secara komersial atau pinjam-meminjam rahim secara sukarela yang dilakukan oleh seorang individu atau lembaga atau jaringan terorganisasi untuk keperluan memperoleh keturunan dengan teknologi reproduksi bantuan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa surrogate mother merupakan salah satu dampak negatif dari kemajuan teknologi saat ini. Praktik demikian telah menjadi alternatif lain bagi beberapa pasangan yang belum atau tidak dapat memiliki keturunan melalui metode bayi tabung. Secara umum praktik surrogate mother di Indonesia merupakan suatu larangan, setidaknya terdapat tiga ketentuan yang dapat digunakan sebagai dasar rujukan.

Pertama, Pasal 42 UU Perkawinan menyebutkan “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.

Kedua, dalam pasal 10 ayat (1) UU HAM disebutkan “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah“.

Ketiga, dalam Pasal 127 ayat (1) UU Kesehatan disebutkan “Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan :

  • Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri darimana ovum berasal.
  • Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, dan
  • Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

Berpijak pada ketiga ketentuan a quo dapat dimaknai bahwa pada dasarnya untuk memperoleh keturunan diharuskan melalui ikatan perkawinan yang sah, secara a contrario dapat dikatakan memperoleh keturunan melalui praktik sewa rahim merupakan hal yang dilarang. Di luar ketiga ketentuan a quo, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 26 Mei 2006 juga telah memfatwakan bahwa praktik transfer embrio ke rahim titipan merupakan praktik yang haram. Kendati demikian, belum ada aturan yang secara tegas dan jelas yang bersifat khusus mengatur ketentuan pidana bagi para pelaku sewa rahim (surrogate mother), sehingga dalam hal ini terdapat kekosongan hukum (vacuum of norm). Sehubungan dalam hukum pidana dianut asas legalitas, konsekuensinya ialah pelaku praktik sewa rahim belum dapat dijerat oleh hukum, oleh karena itu surrogate mother merupakan salah satu contoh konkret dari permasalahan hukum yang ada, khususnya hukum pidana, dimana pengaturannya secara khusus belum ada hingga hari ini.

Dengan demikian, substansi pengaturan mengenai larangan sewa rahim dalam UU Ketahanan Keluarga menurut hemat penulis merupakan suatu langkah maju, karena pengaturan demikian merupakan solusi atas permasalahan yang selama ini belum begitu mendapatkan perhatian. Terlepas nantinya RUU Ketahanan Keluarga bisa melenggang mulus atau tidak dalam sidang paripurna, pengaturan mengenai larangan sewa rahim memang harus ada, sekalipun akan dikemas dalam “baju” undang-undang yang lain.
Bilamana dihubungkan dengan falsafah bangsa, pengaturan mengenai larangan praktik surrogate mother telah sejalan dengan prinsip Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia, di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai Ketuhanan khususnya sebagaimana tercermin dalam sila Pertama, dengan demikian oleh karena Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia, segala produk hukum yang ada harus dilandasi oleh nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, termasuk produk hukum berupa undang-undang. Dalam konteks pengaturan surrogate mother, selain memang oleh beberapa ketentuan yang telah disebutkan di atas secara tersirat dinyatakan sebagai larangan, dilihat dari perspektif agama praktik surrogate mother juga tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu kriminalisasi terhadap praktik surrogate mother memang sudah semestinya dilakukan, kriminalisasi dalam hal ini ialah kebijakan legislatif untuk menetapkan perbuatan yang semula bukan merupakan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *