MESKI masih memiliki kesadaran, Hamsad Rangkuti sudah tidak mampu bergerak lagi. Jangankan bangun dari tempat tidur, untuk menangis dan tertawa saja ia sudah tak mampu. Sastrawan kenamaan Indonesia itu kini hanya bisa terbaring lemah di tempat tidurnya.
Pria yang pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Horison itu sebelumnya baik-baik saja. Sampai pada tahun 2009, Pemerintah Kota (Pemkot) Depok mengambil tanahnya secara sepihak, dengan membangun tempat pembuangan sampah sementara (TPSS) di lahan milik Hamsad dengan ukuran 5×12 meter, tak jauh dari rumahnya.
Hamsad Rangkuti sempat melawan, tapi kalah. Pemkot Depok tetap melakukan pembangunan di atas tanah miliknya. Ironisnya, keluarga Hamsad tidak mendapat uang pengganti.
Sejak saat itu, ia pun sering sakit-sakitan. Rumah yang menjadi sumber inspirasi dan tempat ia menulis tak lagi terasa hangat. Sampah yang menumpuk, belatung, kecoa, tikus, dan bau busuk menerbangkan bau hingga ke rumahnya. Lingkungan yang tidak sehat menyebabkan keluarga tersebut dijangkiti penyakit.
Penyakitnya semakin parah. Bermula dari muntah-berak, kondisinya makin menurun. Tak hanya itu, perutnya sampai-sampai harus dilubangi karena tak bisa lagi buang air kecil.
“Bapak juga dua hari sekali mesti tambah oksigen. Makannya cuma bisa satu merek, namanya Proten,” ujar Nurwindasari, istri Hamsad Rangkuti.
Menurut Nur, dalam satu bulan suaminya butuh 9-10 boks Proten. Sementara harga satu boks Proten sekitar Rp 256 ribu. Pria yang pernah mendapat SEA Writer Award dari Pemerintah Thailand pada 2008 itu tak lagi dirawat di rumah sakit. Biaya yang keluar terlalu besar untuk ditanggung keluarga tersebut.
Karena tidak memungkinkan tinggal di rumah yang lama, Hamsad Rangkuti bersama istrinya kini tinggal di rumah petak berukuran 3,5 x 5 meter. Mereka mendirikan rumah sederhana tersebut di kebun yang dimiliki oleh Hamsad Rangkuti.
Malahan, rumah di Depok yang ia beli dari honor menulis pun kini tinggal terbengkalai. Tidak bisa ditempati atau dijual karena tak ada yang mau membeli rumah yang dekat dengan bak sampah. Sementara Pemkot Depok tak pernah datang memberi bantuan.
“Dulu sering datang, berjanji mau menyelesaikan perkara ini. Tapi sampai sekarang tidak ada bantuan. Padahal saya ikut milih gubernur dan wakil yang sekarang, sama walikota dan wakilnya juga. Tapi tidak ada bantuan sama sekali,” ujar Nur sambil tergugu.
Di antara pembicaraan yang diselingi isak tangis, ia mengaku kecewa terhadap pemerintah yang seolah tak peduli pada nasib suaminya. Padahal Hamsad Rangkuti telah mengharumkan nama Indonesia di kancah Internasional dengan karya-karyanya.
Jika ingin membantu sastrawan kenamaan Indonesia ini, dapat mengirimkan bantuan ke BNI cabang Margonda, Depok, nomor 0106423653 atas nama Hamsad Rangkuti.
Atau jika ingin melihat Hamsad Rangkuti secara langsung, dapat mengunjunginya di Swadya 8 RT 3 RW 3 Tanah Baru Depok, Pondok/Villa Ato atau sering disebut juga Villa Djati.
Penghargaan-penghargaan
Sebagai sastrawan, nama Hamsad Rangkuti tak asing lagi bagi pecinta sastra. Karya-karya yang ia ciptakan pun telah mendapat tempat tersendiri. Hal ini terbukti dari penghargaan-penghargaan yang telah beliau raih.
Penghargaan Insan Seni Indonesia Mal Taman Anggrek & Musicafe (1999)
Penghargaan Sastra Pemerintah DKI (2000)
Penghargaan Khusus Kompas atas kesetiaan dalam penulisan cerpen (2001)
Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2001)
Pemenang Cerita Anak Terbaik 75 Tahun Balai Pustaka (2001) untuk “Umur Panjang untuk Tuan Joyokoroyo” dan Senyum “Seorang Jenderal pada 17 Agustus”
SEA Write Award (2008)
Khatulistiwa Literary Award 2003 untuk Bibir dalam Pispot
Hadiah Harapan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 1981 untuk Ketika Lampu Berwarna Merah.
Karir dan Kepenulisan
Selain sebagai penulis, Hamsad Rangkuti juga pernah menjadi pimpinan redaksi majalah Horison. Berikut beberapa karya beliau yang telah diterbitkan.
Bibir dalam Pispot atau Lips on the Chamber Pot”, translated by Harry Aveling (Angkor Verlag; Kindle E-book 2015), Sampah Bulan Desember, Kumpulan Cerpen Panggilan Rasul, Ketika Lampu Berwarna Merah, Lukisan Perkawinan, Cemara, Mudik.
Beberapa cerpennya juga masuk dalam buku kumpulan cerpen pilihan Kompas.Sebagaimana dikutip dari liputan6.com
Harapan Keluarga
Saat dihubungi Spirit Jawa Barat melalui telepon selular, Jumat (26/08) Bonang Kiswara Rangkuti, anak pertama Hamsad Rangkuti, masih memiliki harapan kepada pemerintah kota Depok untuk menepati janji mereka yang dahulu untuk mengganti tanah keluarga Hamsad yang telah dijadikan TPSS, dan saat ini dirinya sedang berada di RSUD Kota Depok, menemani Ayahnya yang kembali Dirawat di rumah sakit tersebut.
“Siapa yang mau tinggal disitu lagi, enggak ada yang mau nempatin anak-anaknya, ini semua karena pemerintah kota Depok saat itu walikotanya Nur Mahmudi Ismail (2006/2011), sampai sekarang rumah belum laku dijual, sampai hancur terbengkalai dan butuh ratusan juta untuk memperbaikinya,” jelasnya.
Ia menyarankan kepada Pemkot Depok untuk membeli rumah tersebut sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah kota Depok terhadap keluarganya.
“Rumah jadi rusak karena sudah tidak ditempati lagi, dan sebagai bentuk tanggung jawab Pemkot Depok, ya beli aja rumah tersebut,” tegasnya.(iskandar)