MENARIK apa yang disampaikan Dekan Fakultas Ekonomi Unsika Dr Sonny Hersona, MM tentang pedagang kaki lima (PKL) beberapa waktu lalu. Ia berpendapat, PKL akan menjadi kekuatan dan berpengaruh besar terhadap pertumbuhan perekonomian daerah. Kekuatan itu akan nampak bila dikelola dengan baik. Artinya itu akan terjadi apabila dimenej dengan baik, dibina dan diinventarisasi seperti berapa jumlah, berapa perputarannya (uangnya), produknya apa, dll.
Soal PKL memang sejak dulu selalu menjadi perhatian menarik. Ketika Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dipegang oleh Soedomo zaman Orde Baru, pedagang jalanan ini sempat diperhatikan betul. PKL dan pedagang asongan saat itu populer dengan sebutan pelaku usaha sektor informal.
Di era itu, penamaan atau sebutan selalu penting agar tampak keren atau terkesan manusiawi. Misalnya pelacur dengan sebuatan wanita tuna susila (WTS) kemudian berubah lagi menjadi pekerja seks komersial (PSK). Karenanya PKL pun diganti menjadi pelaku usaha sektor informal. Kenapa demikian, mungkin karena untuk PKL tidak perlu surat izin sebagaimana usaha lainnya tetapi sisi nama agak keren. Cuma itu masalahnya, karena informal kesannya tidak serius, asal-asalan, bukan tumpuan, dan bukan usaha pokok. Padahal tidak demikian.
Sonny Harsono mungkin benar, bahwa PKL bisa menjadi kekuatan perekonomian rakyat. Ingat zaman resesi ekonomi 1988 yang bertahan adalah ekonomi rakyat atau sektor informal itu. Mereka liat dan bisa tahan banting. Bahkan banyak orang-orang yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) banting setir berjualan di kaki lima dan kini besar dan menjadi pengusaha sukses. Ini banyak terjadi dalam usaha kuliner. Artinya PKL tetap akan punya potensi untuk berkembang dengan syarat mau memenej tadi. Mereka yang berhasil memang punya kekuatan dari sisi kreativitas dan pintar membaca pasar.
Hanya dipastikan yang terus setia menjadi PKL sepanjang masa adalah mereka yang cukup seperti apa adanya. Boleh jadi PKL yang demikian adalah PKL tradisional. Mereka adalah urbanisan, datang dari luar kota atau kampung lalu mengadu nasib. Mereka datang bisa ikut teman atau sanak famili. Pada pikiran awal mereka haya untuk survive atau sekadar menyambung hidup. Sedangkan PKL yang modern lebih berpikir jauh ke depan dan berdagang untuk diupayakan berkembang kalau perlu buka cabang atau membuka sistem francise.
Namun apapun sebutan dan statusnya, PKL memang sebuah alternatif usaha. Bahkan bisa saja tidak hanya sekadar jadi ujung dari keputusasaan setelah usaha lain gagal terus. PKL bisa jadi tumpuan yang menjanjikan. Tinggal di mana mereka harus berjualan? Inilah yang kerap berbenturan dengan konsep penataan kota. Pedagang kaki lima selalu menyerbu tempat keramaian. Jika kemudian mereka akhirnya mengganggu ketertiban, itulah jadinya. Inilah tantangan bagi pemerintah menyelaraskan penataan kota dengan tidak membunuh ekonomi kerakyatan, karena kata Dr Sonny Hersona, MM, PKL adalah kekuatan besar perekonomian daerah.***