PGRI Bantah Bergelimang Harta , Panji: Ketua PGRI Ilegal

 

KARAWANG, Spirit – Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Karawang membantah lembaga profesinya bergelimang harta dari hasil iuran para guru yang menjadi anggotanya. Pasalnya, kebutuhan PGRI yang mendasar saja tidak terpenuhi.

Ketua PGRI Karawang, Nandang Mulyana mengatakan, berdasarkan hasil kongres XXI tahun 2013 di pasal 98 ART menyebutkan bahwa setiap guru yang mau bergabung dengan PGRI diwajibkan membayar uang sebesar 20 ribu dan setiap anggota diwajibkan membayar iuran paling sedikit 4 ribu setiap bulannya.

“Yang masuk bayar 20 ribu itu tidak pernah ada di Karawang, karena PGRI tidak mau menyulitkan para guru yang mau bergabung. Sedangkan iuran yang besarnya 4 ribu minimal itu di bagi-bagi sesuai aturan yang berlaku,” katanya.

Adapun bentuk pembagiannya, lanjut Nandang, 10 persen untuk pengurus besar PGRI atau PGRI pusat, 20 persen untuk PGRI Provinsi, 30 persen untuk kabupaten atau kota dan sisanya di kembalikan ke cabang dan ranting masing-masing. “Jadi kalau 30 persen dari 4 ribu itu cuman 1.200 saja. Adapun iuran PGRI Karawang yang katanya mencapai 10 ribu itu memang ada di beberapa cabang PGRI Di Karawang tapi tidak semuanya dan ke kabupaten tetap hanya 4 ribu,” tuturnya.

Anggota PGRI Karawang yang aktif, masih disampaikan Nandang, itu hanya 6.250 guru. Karena guru honorer yang bergabung ke PGRI tidak dipungut iuran sama sekali. Hal tersebut dilakukan karena gaji para guru honorer saat ini tidak seberapa.

“6.250 dikali 1.200 rupiah berapa jumlahnya? Cuman sekitar 7,5 juta. Gaji pegawai di PGRI 4 orang perbulan itu mencapai 5 juta. Belum biaya listrik, telepon dan yang lainnya. Kita bukan bergelimangan harta tapi tekor yang ada,” katanya.

Disampaikannya pula, PGRI saat ini sedang memperjuangkan para guru honorer agar segera bisa diangkat menjadi PNS dan yang belum bisa menjadi PNS bisa mendapatkan gaji yang layak. “Jadi kami sudah mendorong agar gaji para guru honorer bisa mendapatkan gaji UMK dan gajih honorer tersebut di tanggung renteng yaitu 50 persen pemerintah pusat, 25 persen oleh provinsi dan 25 persen oleh pemerintah daerah kota masing-masing,” paparnya.

Jadi, lanjutnya, jika ada orang yang mengatakan PGRI tidak ada kerjanya itu sesuatu hal yang tidak benar. “Kami terus memperjuangkan para guru baik PNS ataupun honerer. Agar kesejahteraan guru bisa terjamin,” pungkasnya.

Ketua PGRI Karawang Ilegal
Sementara itu, Sekjen LSM Kompak Reformasi, Pancajihadi Al Panji menilai ngototonya Nandang Mulyana sebagai Ketua PGRI Karawang cukup beralasan. Menurutnya, selain bergelimpang ratusan juta rupiah uang iuran paksa anggota PGRI, Nandang dinilai menyalahi undang-undang dengan menjabat sebagai Ketua PGRI.

Kata Panji, dengan menjabat sebagai Kepala Bidang (Kabid) Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Karawang, Nandang seharusnya lebih fokus mengurusi jabatan struktural tersebut dibandingkan mengurus organisasi profesi guru. Seolah-olah, kata dia, di Karawang miskin Sumber Daya Manusia (SDM).

“Bertahannya Nandang ini, ada konspirasi dinas pendidikan yang sengaja memanfaatkan kepentingan dinas dari rongrongan para guru. Bila organisasi guru bisa dikuasai, maka guru-guru akan tidak berdaya, karena ketuanya sendiri secara struktural menjabat di disdik yang dengan mudah bisa menggunakan hak sanksi bila ada guru kritis,” kata Panji.

Penggunaan uang iuran yang dinilainya memaksa sebsar Rp 10.000 per bulan, menurut Panji bila diakumulasikan, PGRI meraup seratus juta lebih per bulan. Diketahui, jumlah guru mulai jenjang SD, SMP, SMA dan SMK di Kabupaten Karawang yang berjumlah 13.000 orang lebih. Padahal sampai saat ini kontribusi PGRI di bawah kepemimpinan Nandang Mulyana masih jauh dari harapan. Para pengurusnya, lanjut Panji, masih disibukkan dengan bagaimana caranya menghabiskan anggaran.

Panji mengatakan, dalam UU  No 14 Tahun 2005 Pasal 1 berbunyi, organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru. Hal ini pun, kata dia, dikuatkan dalam PP No. 74  Tahun  2008 tentang guru. “Dari segi peraturan perundang-undangan Nandang Mulyana jelas-jelas melanggar Undang-undang guru,” tegasnya.

Disayangkannya, Nandang selalu berdalih kepada AD/ART PGRI hasil Kongres ke-21 Tahun 2013, padahal dalam AD/ART tersebut adalah dasarnya adalah undang-undang guru dan dosen serta PP tentang guru. “Bila mengacu pada UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7, bahwa undang-undang adalah dasar hukum ketiga setelah UUD dan ketetapan MPR. Inilah yang seharusnya jadi acuan, jangan memaksakan diri untuk melanggar aturan, apalagi Nandang ini pejabat publik yang harus memberikan contoh,” kata Panji lagi.

Memang diakuinya, dalam AD/ART PGRI tidak memonopoli organisasi khusus untuk guru, tetapi di dalamnya mengakomodir untuk para tenaga kependidikan, pensiunan guru atau pejabat yang membidangi dunia pendidikan tapi ingat hanya sebatas sebagai anggota PGRI saja. “Namun, untuk kepengurusan harus mengacu pada UU dan PP tentang guru Pasal I bahwa organisasi profesi harus diurus oleh guru. Titik,” kata dia..

Dipaparkannya, secara logika mana mungkin aspirasi para guru terpenuhi bila ketua profesi guru saja dipimpin pejabat pemerintah, seperti halnya organisasi buruh dipimpim oleh yang punya punya pabrik, jadi siapa memperjuangkan siapa.
“Para guru harusnya jangan diam bila merasa dieksploitasi seperti itu, harusnya kaum guru harus sadar bahwa organisasi profesi guru itu bukan organisasi tunggal tapi semua guru berhak membentuk organisasi profesi guru selain PGRI dan ini dilindungi konstitusi,” pungkasnya. (man,top)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *