TERASA miris tatkala Kepala Dinas Tenaga Kerja (Kadisnaker) Kabupaten Karawang mengekspose jumlah pencari kerja baru sebagaimna Tahun 2015 lalu. Ia menyebutkan lulusan sekolah menengah atas tahun ini di Karawang tahun ini sebanyak 13.000 orang. Diperkirakan yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi sebanyak 20 persen atau sekitaar 2.300 orang. Sisanya antara 8.000 – 10.700 akan pencari pekerjaan.
Masih kata Kadinasnaker, apabila melihat pasar kerja di Karawang peluangnya ada di industri-industri. Sedangkan industri biasanya sudah memiliki formula dan persyaratan khusus atau kriteria tertentu dalam menerima calon tenaga kerja (calnaker). Mereka hanya menerima yang siap memasuki pasar industri dengan skill tertentu yakni dari lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK). Sedangkan untuk lulusan sekolah menengah atas (SMA) dipastikan agak sulit terserap.
Apabila melihat begitu banyaknya lulusan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) di Karawang, pertanyaannya adalah, seberapa tersedianya lowongan kerja di pabrik-pabrik atau industri atau orang setempat lebih mengenalnya PT. Sekalipun itu adalah lulusan SMK misalnya, terus terang kita pesimis mereka dapat terserap oleh pasar kerja lokal. Masalahnya untuk memasuki pasar kerja di industri setempat tidak mudah. Calnaker lokal ternyata harus mampu bersaing dengan calnaker dari luar. Belum lagi untuk masuk pabrik tidak serta merta dapat melamar begitu saja. Sebab ada pihak-pihak yang “memaksa” menjadi perantara bagi setiap calnaker apabila ingin bekerja di sebuah perusahaan. Tentu ini masalah tambahan bagi para calnaker, sebab itu tidak gratis.
Namun yang lebih memprihatinkan lagi tatkala kita juga mendapat informasi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) tentang kondisi industri di Karawang. Pada sebuah seminar beberapa waktu lalu, Sekretaris Apindo Karawang mengungkapkan, kini ada 12 investor sudah hengkang dan 59 lainnya dalam kondisi kolaps. Tentu itu bukan kabar baik bagi para pencari kerja. Terlebih Apindo juga mengembel-embeli bahwa saat ini ada 85 ribu pengangguran tidak terserap oleh perusahaan. Alasan yang mengemuka tentang investor hengkang, lantaran situasi keamanan tidak kondusif dan suasana politik tidak memberi kepastian berinvestasi.
Hal-hal yang dipaparkan di atas sudah dipastikan harus menjadi bahan pemikiran semua pihak untuk dicarikan solusinya. Bayangkan anak-anak yang baru lulus harus bersaing dengan puluhan ribu “daftar tunggu” pengangguran. Atau mereka yang kini tengah menjadi penagngguran harus berkompetisi dengan anak-anak yang masih fresh. Harapannya adalah investasi yang sudah ada tetap tumbuh dan yang sudah hengkang biasa kembali, agar keterserapan calnaker bisa lebih banyak lagi.
Kembali ke alasan investor pergi karena keamanan tidak kondusif tentu ini pun tak kalah penting untuk dicarikan penyelesaiannya. Tingkat ketergangguan kepada pengusaha harus segera dieliminasi sekecil apapun. Apabila ini dibiarkan bukan tidak mungkin akan menjadi bom waktu. Pengusaha akan mecari daerah lain yang aman, mungkin ke negara lain. Sayang jika itu terjadi. Calnaker nanti hanya gigit jari.***