Penulis: Rio Febriana
“Ini kok nyampai di Cibeureum?’
Cerita para pendaki gunung yang tersesat sudah biasa. Tapi tersesat beramai-ramai hingga 17 orang, adalah kejadian langka. Inilah yang kami alami saat patroli di Gunung Sanggabuana, padahal gunung ini adalah tempat yang sudah sangat familiar dengan kami. Karena hampir setiap hari kami naik-turun gunung ini.
Mendaki Gunung Sanggabuana sudah jadi rutinitas buat kami warga kaki gunung. Apalagi kami tergabung dalam kelompok pemuda Karang Taruna yang turut mengelola objek wisata di gunung ini. Mulai dari memandu wisatawan, menyewakan tenda, peralatan pendakian dan camping, outbond, serta menjaga kelestarian alamnya dari para perusak.
Waktu itu tersiar kabar adanya para penebang hutan liar di Puncak Sanggabuana (1291 Mdpl). Mendengar hal itu, dikumpulkanlah kami yang terdiri dari kelompok Karang Taruna, para pengelola Perhutani, dan satu kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LMBH) yang berasal dari tempat yang sama. Dengan cepat terkumpul 17 orang yang bersedia naik ke puncak untuk menghentikan kegiatan para perusak alam itu.
Setelah semua personel terkumpul, dan peralatan yang dibutuhkan juga telah siap, berangkatlah kami memulai pendakian. Misi ini dipimpin oleh Pak Endang dari Perhutani.
“Tujuan patroli kita adalah mencegah terjadinya penebangan liar,” jelas Pak Endang.
Jam delapan pagi kami berkumpul di Cigentis. Cigentis berada di kawasan Gunung Loji, di kaki Gunung Sanggabuana. Di sinilah lokasi terdapatnya sebuah curug yang indah, Curug Cigentis. Curug ini berada di Desa Mekarbuana. Ketinggiannya 25 meter dan airnya cukup deras. Airnya berasal dari Sungai Cigentis, Bogor. Kejernihannya jangan ditanya. Asli bening dan segar, karena itu menjadi tujuan favorit para pengunjung, khususnya pencinta curug. Hawa sekitar sangat segar. Terdengar di kiri-kanan suara serangga tonggeret bersahut-sahutan, saling timpal dengan kicauan burung dan deru air terjun. Desir angin turut menyebarkan tampias guguran air yang mengalir deras itu, membuat udara jadi lembab, serta sesekali menyapa wajah kami.
Dahulunya Curug Cigentis bernama Curug Panyipuhan. Panyipuhan artinya pembersihan atau penyucian. Menurut cerita sejak dahulu dengan mandi di curug ini dapat membersihkan unsur-unsur negatif dari dalam diri kita.
Kembali ke maksud pendakian. Sebagai leader, Pak Endang menginstruksikan untuk mengambil rute tercepat, yaitu dengan memotong jalan, menerabas jalur yang biasa kami lewati, agar lebih cepat sampai dan lebih cepat pula menghentikan pengrusakan hutan oleh orang-orang tak bertanggungjawab itu.
Dari Cigentis kami berangkat menerabas, mencari jalur tercepat untuk sampai ke puncak ketinggian 4.236 kaki itu. Semak demi semak dan rimbun pepohonan kami lewati. Seiring perjalanan kami tahu bahwa di antara 17 orang dalam rombongan ini ada yang merasa terpaksa. Mereka terpaksa ikut karena tak bisa menolak ajakan, kurang persiapan, terlalu mendadak, atau karena harus meninggalkan urusan lainnya. Ada yang menggerutu, ada yang diam saja tapi dari raut mukanya kelihatan kurang ikhlas.
Dua jam dari Cigentis, kami menemukan jalur yang sepertinya kami kenal. Maka kami menempuh jalur itu, terus bergegas, berpacu dengan para penebang yang sudah lebih dahulu sampai di puncak. Karena biasanya untuk mencapai puncak Sanggabuana kami hanya perlu waktu sekitar tiga jam, maka kami tidak berhenti-berhenti, sebab pikir kami sebentar lagi juga sampai.
Hingga sejam kemudian, sampai waktu dimana rata-rata waktu tempuh kami sudah terlewati, hati saya mulai bertanya-tanya. Begitu juga barangkali dengan anggota yang lain. Puncak belum juga kami gapai. Akhirnya leader menginstruksikan untuk istirahat sejenak buat memasak air menyeduh kopi dan makan perbekalan yang kami bawa.
Kami meminum kopi di sebuah saung. Pada saat itulah beberapa orang menyadari, kami berada jauh di balik sisi lain di kaki Gunung Sanggabuana yang masuk wilayah Purwakarta, yaitu kawanan Simenyan dan Simonyet.
“Lah iya ini kan wilayah Pulakarta (Purwakarta),” kata salah seorang peserta patroli yang paham.
Barangkali karena kurang fokus, jadinya kami tersesat seperti ini. Bukannya menuju puncak, tapi kami malah berputar-putar, dari gunung satu ke gunung lain di kaki Gunung Sanggabuana itu.
Waktu telah mencapai tengah hari. Langit kebiruan begitu cerahnya. Sedikit awan putih menghias makin cantik pemandangan angkasa di siang itu. Tapi seingat kami, suasana terasa sedikit berbeda dari biasanya. Angin tampaknya lagi malas berhembus sehingga dedaunan dan ranting-ranting yang masih kecil pada pepohonan terlihat diam tak bergerak. Auranya juga terasa lain. Burung-burung yang biasanya bercericit dan berkicau, seperti kami lihat tadi di awal perjalanan, kini hampir sama sekali tak terdengar lagi. Memang ada satu dua yang terbang melintas. Beberapa yang bertengger di pepohonan juga tampak seperti memperhatikan kami, seolah mau berkata atau menyampaikan sesuatu, tetapi kami tak mampu menangkap maksudnya.
Jam demi jam telah berlalu. Ini sudah di luar kewajaran dari waktu tempuh yang bisa kami bayangkan sebelumnya. Hampir seharian kami berjalan, tapi puncak masih belum kami gapai.
Hingga akhirnya pada jam 5 sore….
“Ini kok nyampai di Cibeureum?’ tanya salah seorang peserta patroli kala itu.
“Bukan ah, bener ini jalur biasa. Itu kan saung Mang Marna…” timpal yang lain.
Kami lalu memperhatikan saung tempat kami ngopi yang kedua kalinya itu. “Bukan ah, ini bukan saung Mang Marna! Ini saung Bapak Tini!” teriak anggota lain mengoreksi.
Terperangahlah kami, sebab Saung Bapak Tini memang berlokasi di Cibeureum, bagian dari kawasan Gunung Dinding Ari, Buanajaya Tanjungsari Bogor, yang bersebelahan dengan Gunung Sanggabuana. Sementara saung Mang Marna yang kami kenal, ada pada jalur pendakian kami di bagian Gunung Sanggabuana di bagian wilayah Karawang.
“Ini sih sudah beda bukit. Kita pasti sudah tersesat,” begitu keyakinan kami.
Kami semua juga baru ngeh setelah itu. Mungkin karena banyak diantara kami yang tidak fokus, akhirnya kami nyasar ke sini. Kupikir karena hal ini pula, pikiran kosong, jadi lebih mudah ‘dimasuki.’ Si penunjuk jalan yang mengaku tahu pasti jalur potong kompas ternyata juga salah jalan, tak ubahnya seperti semua anggota yang lain.
Di Cibeureum itu, kiri-kanan terdapat banyak perkebunan. Pada saat itulah seorang lelaki paruh baya tampak berjalan tergesa. Ia menyoren tas seperti yang biasa dipakai penduduk sekitar ketika pergi ke hutan. Mungkin pencari madu. Atau orang yang sekedar menengok ladangnya yang berada di sekitar sini. Tak kami lihat mukanya, karena ketika kami melihatnya, ia sudah berjalan menjauh dari lokasi kami, jadi hanya terlihat punggungnya.
Belum pernah aku dalam pendakian di gunung ini, berdua, bertiga maupun dalam rombongan yang lebih banyak orang, tersesat seperti sekarang ini. Hampir seharian, dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore terus-menerus berpindah dari satu gunung ke gunung lain di kaki Gunung Sanggabuana. Nggak sampai-sampai ke puncak Sanggabuana yang kami tuju. Padahal ini rombongan yang terdiri dari tujuh belas orang. Apa karena semua tidak fokus, hanya melangkah mengikuti gerak kaki dan mengekor pada penunjuk jalan? Sedangkan pikiran kami masing-masing sibuk sendiri entah apa yang dipikirkan? Baik itu yang awalnya merasa terpaksa, maupun yang memang sudah berniat, tetapi terlalu mempercayakan urusan rute ini pada orang lain? Entahlah.
Tadi di trek yang membawa kami ke Cibeureum ini kami rasa sama persis dengan trek menuju puncak Sanggabuana yang biasa kami lalui. Tapi ternyata salah.
Ya sudah, mau dikata apa. Aku terima saja kenyataan ini. Kuberusaha berpikir positif saja daripada dibawa stress. Lalu aku mencuci muka di kali kecil yang bergemericik airnya, bening dan cukup deras. Di kiri kanan sungai dan sejauh mata memandang, permukaan tanah hampir semua tertutup vegetasi menghijau. Jam 5 berarti sunset tak lama lagi. Di ufuk barat sudah mulai terlihat kemerahan. Tapi ini bukan waktunya untuk bersantai menikmati sunset, karena tujuan pendakian ini adalah misi penyelematan hutan dari penebangan liar.
Ditengah berpikir untuk kembali bergegas, mata ini terus berkeliling melihat keindahan alam, sosok kakek-kakek memandang ku hingga hati ini merasa takut. Ia berpostur tidak kurus dan tak lebih dari 159 centimeter tingginya. Hampir 5 menit kakek-kakek tersebut memandangku. Bulu kuduk pun mulai meremang hebat, dan badan ini sontak berdiri agar cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Tak tahu kakek tua itu siapa, karena baru kali ini Aku menemukan sosok yang tak familiar di gunung ini.
Kembali kependakian, dari sisi ini juga telihat di kejauhan beberapa pucuk gunung yang lebih tinggi dibanding Sanggabuana. Terlihat pula asap mengepul dari pabrik semen dan dapur-dapur pembakaran bahan baku semen yang dikelola masyarakat.
Karena menurut perkiraan normal untuk sampai ke puncak tinggal sedikit lagi, leader berkomando agar meneruskan perjalanan.
“Oke, kita lanjutkan lagi!”
Kami pun tak ada yang menolak. Pendakian kami lanjutkan setelah rasa lelah kami sedikit terobati dengan ngopi dan makan sore di Cibeureum ini.
Makin lama suasana semakin gelap. Tak terasa matahari telah tenggelam dengan sempurna. Penerangan langit digantikan bintang gemintang yang bertebaran tak terhitung banyaknya, namun tak seterang matahari. Rokokku yang sebungkus tinggal dua batang lagi. Senter-senter kami keluarkan untuk menerangi perjalanan.
Dari pagi tak kami temui satu pun rombongan pendaki yang ingin muncak di Sanggabuana. Mungkin karena bukan weekend, jadi sepi. Walaupun terkadang ada saja di hari biasa rombongan yang muncak untuk camping, atau berziarah di sejumlah situs peziarahan di gunung ini.
“Jam berapa ini bro?” terdengan salah seorang anggota LSM bertanya pada temannya.
“Jam 8 kurang lima,” jawab orang itu.
Kami semua berhenti. Rupanya sudah tiga jam saat kami terus berjalan dari titik peristirahatan, dari sisa dua jam yang diperkirakan kami akan sampai ke puncak, namun rupanya tersesat ini belum berujung.
“Kita sudah di mana,” tanya leader.
Semua orang memandang ke sekeliling. Menyelidiki keadaan sekitar. Dengan lampu senter kami coba mengenali lokasi itu.
Hmm… aku membatin, kami benar-benar tersesat seharian ini. Entah karena kekuatan apa. Apa karena pikiran kami yang semuanya kacau, atau para penebang hutan itu memasang perisai ghaib, atau para penunggu gunung ini sendiri yang tidak menyukai keberadaan kami, padahal niat kami adalah mau menyelamatkan alam dari pengrusakan. Atau bisa jadi ada di antara anggota rombongan ini satu atau dua orang yang melakukan kesalahan fatal sehingga berdampak pada keseluruhan anggota. Tidak tahu juga.
Kopi kembali disajikan. Kopi terakhir. Rokokku pun tinggal sebatang terakhir yang aku tahan-tahan dari tadi.
Dari penyelidikan ke lokasi sekeliling, akhirnya kami mengenali, dari hamparan sawah yang ada disitu, ada petakan yang kami kenali, berada tepat di samping jalur pendakian. Juga di sisi lainnya, kebun atau ladang warga, kami kenali betul.
Terjadi sedikit perdebatan soal lokasi tersebut. Tapi intinya adalah kami yakin, kami bukan makin dekat ke puncak, tetapi masih tetap berputar-putar di bawah dan masih jauh dari atas. Tentu saja semua orang sudah merasa capek, apalagi menyadari bahwa kami masih jauh dari tujuan. Mental kami jadi down, tidak semangat lagi.
“Ya udahlah, kita pulang. Ini buat pengalaman aja,” instruksi Pak Endang menyerah pada keadaan. Kami semua setuju.
Akhirnya dari tempat peristirahatan itu kami ikuti jalur itu menuju pulang. Waktu itu sekitar pukul 20.30. pendakian dua belas jam yang tidak membuahkan hasil. Meski masih terus kepikiran tentang penebangan liar di puncak, kami semua melangkah pulang.
Tak tahan jika harus pulang berjalan lagi, Pak Endang pun menghubungi supir losbak untuk mengangkut kami.