MESKI lokasinya dijauhkan dari pemukiman dan hiruk pikuk kota, akan tetapi tempat pembuangan akhir sampah (TPAS), merupakan bagian penting dari mata rantai fasilitas kota/daerah. Bahkan sebuah TPAS bisa dijadikan cerminan bagaimana pemerintah mengelola sebuah kota. Apabila pengelolaan TPA-nya baik, maka sudah dipastikan kotanya terkelola dengan baik pula.
Terhadap pandangan itu boleh saja ada yang menganggapnya lebay atau terlalu ekstrim. Namun justru signifikansinya antara pengelolaan kota dengan sampah sangat erat. Berbagai pengalaman di beberapa kota besar di negara-negara maju menunjukkan, untuk menuju pengelolaan sampah yang baik tidak mudah. Mencapai keberhasilan mengelola sampah begitu banyak tantangan harus dihadapi.
Kabupaten Karawang sendiri sat ini memiliki TPAS Jalupang, di Desa Wancimekar, Kecamatan Kotabaru. Aka tetapi daerah industri ini belum mampu membuat sebuah tempat pembungan akhir sampah yang representatif. Konon kegagalan Karawang setiap tahun untuk menyabet Penghargaan Adipura – sebuah penghargaan untuk pengelolaan sebuah kota – salah satunya TPAS Jalupang belum memenuhi syarat sebagai TPAS yang baik. Misalnya untuk sistem penataan dan pengamanan sampah saja masih dilakukan dengan open dumping. Terus terang ini memprihatinkan, mengingat cara seperti itu terbilang “primitif”, yakni sampah hanya dibuang begitu saja.
Kita patut mempertanyakan komitmen Pemerintah Kabupaten Karawang dalam mengelola sampah ini. Mengingat kucuran anggaran pada 2015 saja cukup besar. Untuk penataan TPAS sempat digelontorkan Rp 19,939 miliar dan untuk pengerjaan penurapan Rp 679,887 miliar. Namun, sebagaiman ditulis harian ini, pekerjaan tahun anggaran 2015 tersebut masih berlangsung.
Memang pada awal 2015 lalu kita sempat mendengar kabar bahwa TPAS Jalupang akan diperluas antara 2 – 3 hektare dari dari keadaan sekarang 7,5 hektare. Saat itu ketinggian gunungan sampah mendapai antara 7 – 8 meter. Sementara produksi sampah yang masuk TPA pada tahun 2015 rata-rata sebanyak 4.000 ton per hari. Mungkin sekarang sudah bertambah lagi. Namun hingga saat ini gunungan tersebut masih tetap seperti itu, bahkan tampat lebih tinggi lagi.
Menangani sampah bagi Karawang tampaknya sudah mengindikasikan problema yang berat. Dengan percepatan jumlah penduduk yang tinggi akibat urbanisasi, akan semakin memperbesar volume produk sampah. Penanganan sampah ideal oleh TPAS Jalupang, dari hari ke hari akan sulit dilakukan. Misalnya dengan sanitary landfill saja, rasanya akan berat. Dari mana tanah penutupnya diperoleh, padahal itu harus dilakukan setiap hari? Mungkin sudah saatnya dipikirkan pengelolaan sampah di Karawang dengan teknologi, agar nantinya sampah bisa dikonversi menjadi energi.
Satu hal yang kita pertanyakan juga adalah, mengapa Pemerintah Daerah Karawang memercayakan penanganan sampah hanya pada setingkat Kepala Bidang. Bagi daerah yang sedang pesat menjadi daerah industri, lalu pemukiman demikian merebak, serta pusat-pusat perekonomian sedang bertumbuh, selayaknya penanganan sampah dikelola oleh pelaksana teknis setingkat dinas. Dinas akan lebih memiliki kewenangan secara otonom dibanding dengan bidang.***