Kegagalan Kontruksi Bangunan, Kontraktor Terancam Pidana

PEMBANGUNAN infrastruktur konstruksi tidak berhenti sampai selesainya tahapan pengadaan procurement. Pada pelaksanaan fisik konstruksi, juga banyak aturan perundangan. jika dibaca secara harfiah akan bisa mengakibatkan banyak tindakan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum atau pelanggaran peraturan perundangan, yang dapat berujung pada pemeriksaan para penegak hukum.


Karena, dianggap berkolaborasi dalam tindak pidana, dituduh sebagai kolaborator. Pada saat pelaksanaan konstruksi, terdapat suatu ketentuan perundangan, yaitu UU No 18 Tahun 1999 Pasal 43, yang secara jelas mencantumkan bahwa pelanggaran yang mengakibatkan terjadinya kegagalan bangunan atau kegagalan konstruksi dapat dikenai pidana lima tahun dan denda dalam jumlah tertentu dari nilai kontrak bagi perencana. Serta pidana lima tahun dan denda dari nilai kontrak yang diawasinya bagi pengawas pekerjaan dimana di dalamnya termasuk pejabat pemerintah terkait serta pidana lima tahun dan denda dalam jumlah tertentu dari nilai kontrak.

Melihat pasal di atas, sanksi terberat dalam hal terjadi kegagalan bangunan atau kegagalan konstruksi sebenarnya adalah bagi pengawas pekerjaan karena denda dengan sejumlah tertentu dari nilai kontrak pekerjaan yang diawasinya padahal kontraktor hanya dikenai denda dalam jumlah tertentu dari nilai kontrak pekerjaan yang dilaksanakannya.

Definisi kegagalan bangunan dan kegagalan konstruksi, dapat menjadi kabur serta dapat menjadi multi tafsir, misalnya pengertian, Kegagalan bangunan menurut PP No 29 Tahun 2O00 Pasal 34: “Kegagalan bangunan merupakan keadaan bangunan yang tidak berfungsi baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja, dan atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan atau pengguna jasa setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi”.

Tapi faktanya kontraktor yang berada di wilayah Kabupaten Bekasi Jawa Barat sudah melakukan tindakan kontroversial.
Peningkatan Jalan Jiun tanah merah Tahun 2016 yang dikerjakan oleh PT Hutomo Mandala Perkasa pihak ke tiga yang mendapatkan proyek dari Dinas Binamarga (saat itu) atau Dinas Pekerjaan umum dan Perumahan Rakyat (DPUPR). Pasalnya Pelaksanaan Peningkatan Jalan Jiun tanah merah Tahun 2016 yang dikerjakan oleh PT. Hutomo Mandala Perkasa, dengan nilai anggaran Rp 5.578.254.112 tersebut diduga tidak sesuai spesifikasi pekerjaan.
Ironisnya, pihak kontraktor selaku pihak ketiga yang mendapatkan kepercayaan saat dikonfirmasi Spirit Jawa Barat melalui telepon selulernya terkait kegiatan itu, memilih diam tidak berkomentar.

Sementara itu Sekjen LSM Komite Nasional Penyelamat Aset Negara (Komnaspan) Kabupaten Bekasi, Rio Febrian, menyayangkan sikap kontraktor yang tidak bergeming. “Sebagaimana PP No 29 Tahun 2000 Pasal 31; kegagalan pekerjaan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat kesalahan pengguna jasa atau penyedia jasa. Harusnya kontraktor memberikan penjelasannya, jangan diam saja,” kata Rio.

Ditambahkannya, kegagalan bangunan tidak terbatas pada keruntuhan bangunan saja tetapi termasuk juga bangunan yang sudah dibangun, tetapi tidak berfungsi atau tidak bermanfaat.

“Contoh sederhana kegagalan bangunan, bangunan yang roboh, bangunan yang telah selesai dibangun tetapi tidak dapat dimanfaatkan, baik karena alasan teknis maupun alasan lain yang sesuai UU No 18 Tahun 1999 Pasal 25 adalah mulai dari serah terima proyek hingga sepuluh tahun sesudahnya. Artinya kegiatan itu sia-sia dan hanya menghamburkan uang negara,” tambah Rio.

Padahal, menurutnya seharusnya prosedur tender proyek pemerintah harus tunduk pada Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010 jo Peraturan Presiden No 70 Tahun 2012 yang tak lepas dari UU No 18 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 2000. (Bahyudin-Spirit Bekasi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *