KARAWANG, Spirit – Direktur Karawang Budgeting Control (KBC), Mulyana menyerukan agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Karawang menghapus dana aspirasi bagi anggota DPRD. Pasalnya, ditengah keterpurukan keuangan nasional yang berimbas terhadap penundaan dana dari pemerintah pusat untuk Kabupaten Karawang, tentu harus lebih memprioritaskan belanja daerah yang kurang signifikan, salah satunya dana aspirasi.
“Dampak emotongan Dana Alokasi Umum (DAU) semestinya harus banyak menghemat melalui skala prioritas pembangunan. Sungguh ironis di tengah tekanan ekonomi sekarang ini kalau dewan malah mengajukan kenaikan gaji dan kenaikan dana aspirasi. Tuntutan itu bukan saja menebar aroma ketidakadilan, tapi juga menunjukan gejala gagal paham wakil rakyat di daerah dalam merasakan apa yang dialami masyarakat,” ungkap Mulyana kepada Spirit Jawa Barat, Senin (12/9).
Menurutnya, Pemkab harus bisa berpikir keras untuk melakukan perencanaan strategis pembangunan yang memang sangat dibutuhkan masyarakat ketimbang penganggaran yang lebih bernuansa politis. “Pamkab harus melakukan pemotongan terhadap pos belanja yang tidak produktif seperti belanja pegawai, biaya perjalanan dinas, konsinyering, kunjungan kerja dan pembangunan gedung-gedung pemerintahan,” imbuhnya.
Diketahui, dana aspirasi anggota DPRD merupakan hal wajar tatkala kondisi perekonomian secara makro cukup mendukung. Hal itu, kata dia, sebagaimana yang dikenal dan diberlakukan dibeberapa negara.
Dipaparkan Mulyana, Program Pembangunan Daerah Pemilihan (P2DP) atau dikenal sebagai dana aspirasi bila dianalisa sangat mirip dengan “pork barrel budget” di Amerika Serikat (AS). Dana Aspirasi DPR dan DPRD, kata dia, tidak lain adalah politik pork barrel untuk menjaga status quo anggota DPR dengan cara membayar balik jasa konstituen dalam janji kampanye dengan menggunakan uang negara.
“Dengan cara inilah, anggota dewan akan mempunyai nama harum di Dapil-nya sehingga berpeluang terpilih kembali di pemilu berikutnya. Praktek seperti ini sudah dilegalkan di AS dan Filipina. Dana yang diusulkan digunakan untuk mewujudkan aspirasi rakyat untuk memecahkan masalah yang dihadapi konstituennya,” paparnya.
Namun, lanjut Mulyana selain karena faktor ekonomi nasional yang sedang terpuruk saat ini, keberadaan dana aspirasi anggota dewan selama ini tidak menjamin terjadinya pemerataan pembangunan. Dana aspirasi justru mengesankan dijadikan projek yang didanai pemerintah sebagai hipotik penjamin sukses dalam pemilu yang akan datang. “Bila proyek pemerintah tersalur melalui jejaring parpol maka dipastikan tidak akan tersebar secara merata. Hanya konstituen yang bisa menjalin komunikasi dengan angota Dewan yang dapat peluang membawa projek. Bila ini benar-benar terjadi, pembangunan di daerah akan menyisakan wilayah terbelakang. Karena, bias jadi menurut kalkulasi politis tidak menguntungkan, maka daerah tersebut diabaikan anggota dewan dengan tidak mendapat jatah projek. Inilah ketimpangan yang terjadi,” jelasnya.
Padahal, proyek pembangunan harus disebar sesuai kebutuhan daerah tanpa membeda-bedakan dukungan politik. Masyarakat di manapun, dan apapun aspirasi politiknya, berhak menikmati pembangunan dan hasil-hasilnya.
“Tak heran bila di karawang masih ada sekolah ambruk, anak menderita gizi buruk, busung lapar, kurangnya fasilitas kesehatan atau jalan berlubang bertahun-tahun. Bila fasilitas yang dibutuhkan untuk membangun manusia diabaikan, maka jangan harap kabupaten Karawang akan bisa berdiri sejajar dengan kabupaten lain yang lebih maju,” kata dia lagi.
Kalau dana aspirasi tetap dipaksakan, sambung Mulyana tentu menggambarkan sebuah ironi, sekaligus memunculkan rasa miris karena tak ada sense of crisis terhadap kondisi keuangan negara saat ini.
“Sangat ironis, adanya pemotongan anggaran dari pusat dan daerah serta penundaan pencairan dana alokasi umum yang sebagian besar merupakan komponen gaji pegawai, justru wakil rakyat berbicara tentang kesejahteraan mereka sendiri berdalih dana aspirasi, dan kami sebagai masyarakat menolak adanya dana aspirasi itu,” tegasnya.
Dia berharap, wakil rakyat untuk lebih berpikir realistis dan lebih inovatif dalam memperjuangkan konstituennya. Anggota DPRD Karawang semestinya mengubah cara-cara berhubungan dengan konstituen termasuk berjuang di daerah pemilihannya. “Harusnya mereka (angora DPRD, red) tidak semestinya menjadikan uang sebagai alat transaksi dengan konstituen, namun membuka akses sehingga keadilan sehingga setiap orang memiliki ruang untuk memberdayakan dirinya,” pungkasnya. (red)