MASYARAKAT yang tinggal di dekat area persawahan selama ini diduga tercemar udara yang mengandung gas metan. Meski dalam jangka pendek hal tersebut tidak dirasakan langsung, namun dalam jangka panjang bisa membahayakan kehidupan manusia. “Gas metan itu berasal dari pupuk yang disebar di lahan pertanian. Kemudian pupuk tersebut memuai menjadi gas metan ke udara dan dihirup oleh masyarakat sekitar persawahan.”
Paragraf di atas dikutip dari harian ini, edisi Selasa (2/23). Pernyataan tersebut disampaikan Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) Karawang Setya Dharma. Apa yang diungkapkan BPLH konon bukan semata asumsi, tetapi sudah merupakan hasil riset dengan metoda sampling. Institusi yang bertugas mengelola dan mengawasi lingkungan tersebut melakukan riset di wilayah pertanian Kecamatan Telagasari. Disebutkan, hasil penelitian menunjukkan kandungan gas metan di wilayah tersebut cukup mengkhawatirkan. Maka untuk mengatasinya dalam waktu dekat BLH akan mengambil langkah.
Apa yang diungkapkan BPLH terbilang mengejutkan. Selama ini nyaris tidak ada ekpose mengenai dampak pemupukan dan pembusukan jerami di sawah lalu menjadi gas metan. Selama ini kita tidak pernah mengetahui tentang hal itu. Pengungkapan munculnya gas metan biasanya paling-paling berada di tempat pembuangan akhir sampah (TPAS). Potensi gas metan di lokasi tersebut bahkan oleh para ahli dianggap ideal untuk dieksplorasi menjadi bahan bakar untuk rumah tangga. Karenanya dengan diekspose hasil penelitian oleh BPLH nampaknya perlu menjadi perhatian. Terlebih badan tersebut mengklaim dalam penelitian memiliki alat pengukuran akurat untuk gas metan dari persawahan yang lepas ke udara.
Selama ini kita hanya mengenal dampak dari pemupukan oleh pupuk anorganik atau kimia lebih kepada kerusakan unsur hara dalam tanah. Tanah menjadi jenuh oleh residu kimia, sehingga tanah tidak lagi gembur. Bahkan yang memprihatinkan obat antihama bisa membunuh biota dalam tanah, seperti cacing yang justru membantu menggemburkan atau menyuburkan tanah. Ketergantungan pupuk kimia pada lahan pertanian sudah berlangsung lama, sejak kita meyakini soal intensifikasi pertanian untuk meningkatkan produksi hanya dengan pemupukan anorganik. Pabrik pupuk pun didirikan dan tata niaganya diatur sedemikian rupa. Meski adakalanya terjadi kenakalan dalam pendistribusian karena distributor ingin menikmati permainan harga. Petani pun jadi korban.
Memang sudah lama disadari bahwa pupuk kimia tidak baik untuk jangka panjang. Meningkatnya produksi tidak sepadan dengan risiko. Antara lain investasi dalam bertani menjadi tinggi. Sedangkan lingkungan menjadi rusak. Tapi suara kesadaran itu kerap hanya muncul sayup-sayup, bahkan timbul tenggelam. Bertani kembali ke pertanian alami (back to natures farming) dengan pemupukan organik tidak pernah dibuat serius. Sekalipun hasilnya cukup baik, tetapi tidak pernah menjadi kebijakan massal. Ya, kita tahu persoalannya, yakni siapa yang bisa melawan pemodal di pupuk kimia. Buktinya mesin pengolah pupuk organik di TPAS-TPAS kini hanya menjadi rongsokan besi tua!***