“Gantungkan Hidup” Dari Hajatan 

SUBANG, Spirit – Azan Subuh dari pengeras suara masjid di Kampung Ranca Kandong, Kelurahan Sukamelang Kecamatan/ Kabupaten Subang, jelas teedengar. Di sebuah rumah, 25 orang penggiat seni yang tengah sibuk mengangkut alat gamelan, pun berhenti sejenak.

Minggu (29/5), mereka memiliki jadwal manggung di sebuah resepsi pernikahan di Kampung Saradan, Desa Bendungan, Kecamatan Pagaden Barat, Kabupaten Subang. Mereka tergabung dalam sebuah group seni Swara Gumilang pimpinan Eka Harapan.

Jarak yang harus mereka tempuh ke lokasi resepsi tersebut, sejauh 15 kilometer ke arah utara dari Subang Kota. Itu jarak yang lebih dekat. Menurut Eka, dari 25 orang yang ikut dalam rombongannya, bukan hanya penyanyi saja.
“Saya bawa sinden, lengser, penari, gulang-gulang untuk penyambutan calon pengantin,” ujar Eka.

Kehidupan para pelaku seni tradisional tampak glamour. Muka dirias cantik dengan pakaian serba wah. Namun kehidupan mereka di panggung kontradiktif dengan keseharian mereka.
Menurut Eka, para pelaku seni tradisional, bisa “hidup” kalau ada yang hajat. “Dari panggung ke panggung, kami menyambung hidup. Itu pun, jika ada yang mengundang kami,” katanya.
Dia juga menyebut angka. Dalam sekali manggung group tersebut mendapat bayaran Rp 7 juta.

Rombongan musik kolaborasi yang menamakan diri group Swara Gumilang. Mereka memengusung berbagai genre musik.
Dari berbagai gennre tersebut, menurut Eka, seni sunda, tetap merupakan genre unggulan. “Mau Jaipongan, Degung, Dangdut, Calung, Galura, Toleat, anak-anak bisa. Kalau bertahan di satu genre, sulit bersaing dengan group yang lain. Tapi yang paling diutamakan adalah seni tradisional.”

Pukul 10.00 WIB, calon pengantin pria yang berasal dari Bandung, tiba ke lokasi resepsi. Para penari dan lengser sudah siap di depan panggung. Gamelan pun mulai ditabuh mengiringi lagu “Kalangkang” ciptaan Nano S yang dipopulerkan Nining Meida AS tahun 80 an.
Panjak atau penabuh gamelan yang berada di atas panggung terdiri atas tujuh orang dengan usia mereka rata-rata 16 tahun. Mereka turut dalam group tersebut, selain menyalurkan bakat seni, juga menimba ilmu kesenian.
“Karena mereka masih sekolah di SMK,” ujar Eka.

Suara Sinden, Yuli (16), kadang terdengar melengking, kadang mendayu-dayu, mengikuti irama lagu. Yuli, merupakan satu di antara empat penyanyi dalam rombongan itu. Selain Yuli, saat itu, Eka juga membawa Asep Heulang (38) penyanyi dan pencipta lagu sunda.

“Saya juga membawa penyanyi yang bisa menyanyikan lagu dangdut, pop, dan panturaan. Ada dua orang, Dewi Irawan (29) dan Santi Purnama (22). Sebab yang hajat mengundang kami untuk menghibur tamu undangan juga, bukan hanya lengser,” katanya.
Bisnis hiburan bagi seniman tradisional masih merupakan sebuah bisnis musiman. Momo Sarman alias Tomos, pelaku seni mengatakan, mereka bisa menghidupi kebutuhan keluarga dari beberapa bulan saja.

“Kami bisa manggung hanya dari bulan Syawal sampai Muharam. Yang jarang, bulan Hapit, Puasa, dan Safar. Kami bisa panen, di bulan Syawal, Rayagung, Jumadil Awal, Jumadil Akhir. Bulan Syawal besok, sudah ada agenda sebelas panggung, Hapit dua panggung, Rayagung empat panggung. Kalau gak ada hajatan, gak makan,” ujar Tomos.

Tomos, satu di antara ratusan bahkan ribuan pelaku dan pekerja seni di Kabupaten Subang, yang mengeluhkan perhatian dari Pemkab Subang. Menurut dia, penghargaan terhadap pelaku seni di daerah ini masih sangat minim.

“Gegeden Subang pang merhatikeun seni Subang. Ada lomba seni di Subang. Namun seperti tidak ada kelanjutannya, seperti lomba-lomba di sekolah, tidak ada lanjutannya. Seperti yang tidak ada penghargaan dari gegeden Subang,” keluh Tomos.

Alunan pupuh Asmarandana mengalun, mengikuti langkah sepasang calon pengantin ke kursi pelaminan. Suka cita tergambar dari raut wajah mempelai dan kedua orang tua mereka.
Senyum pun menghias wajah sinden dan para penabuh gamelan. Di balik senyum (getir) itu, mereka tak bisa menerka kehidupan mereka hari-hari berikutnya.

Mereka menggantungkan harapan kepada Eka Harapan, pimpinan group mereka, untuk mencari dan mendatangkan panggungan, agar dapur tetap “ngebul” dan bisa membiayai kebutuhan harian atau bulanan anak istri mereka. Mereka masih jauh dari berpikir untuk biaya kesehatan atau sejumlah uang bagi mereka menikmati berlibur bersama keluarga. (agus eko/ spirit jawa barat) 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *