SEJARAH DALAM BALUTAN SASTRA

Oleh : PUPUNG PRAYITNO

GE DIGITAL CAMERA

Membaca karya sastra pada kurun waktu 2008 – 2010 booming dengan tema-tema racikan sejarah. Kendatipun muatan fiksi lebih dominan mengurai alur-alur kandungan  sejarah. Tampaknya kecenderungan itu begitu menguat. Terkoreksi pada penerbitan roman/novel yang beredar di gerai-gerai buku cukup ternama. Buku-buku itu menonjol dalam desain covernya ataupun kemasannya. Dan diantaranya  ada buku yang membuat para ahli sejarah geram.

Sebut saja salah satunya novel sejarah karya Aan Merdeka Permana – Perang Bubat – yang menuai perdebatan yang “menjengkelkan” beberapa kalangan, isinya dianggap menyesatkan. Aan sempat dilarang bertandang ke Astana Gede Kawali – Ciamis, tempat disemayamkannya “abu jenazah” Putri Dyah Pitaloka dan Prabu Lingga Buana. Tulisan Aan disinyalir tidak sesuai dengan alur sejarah yang selama ini di anut oleh warga Kawali. Dan hebatnya buku itu menjadi best seller.

Aan mempunyai kekuatan dalam bertutur dan piawai menanamkan “nilai-nilai”. Lihai dalam menghidupkan imajinasi pembaca, fakta-fiksi “ tampak segaris “, awam akan sulit untuk menimbang kebenarannya. Kadang ia nekad, menabrak alur sejarah yang baku. Pada novel Putri Kandita, Kemelut Putri Prabu Siliwangi (2010),  Aan mengandalkan intuisi dan sumber-sumber “sejarah lisan”. Ia mengobservasi sendiri ke pedalaman masyarakat sunda dan mewawancarainya. Ia meyakini masyarakat sunda memiliki pengetahuan masa lalu yang lebih kaya daripada sejarawan akademisi. Atas hasil investigasinya lahirlah trilogi, Senja Jatuh di Pajajaran.

 

Dongeng – sejarah

Masyarakat sunda penikmat” dongeng”  pada era tahun 80 – 90-an , terutama di pedesaan, melalui siaran radio hatam benar dengan suguhan cerita yang berlatar sejarah. Seperti Waliwis Bodas  ( Karya S Sukandar ? ) yang berlatar perjuangan masyarakat Karawang melawan penjajahan Belanda. Suguhan ini menghibur masyarakat kelas bawah hingga menengah, panteng di dekat radio hingga membius pendengarnya. Terlalu naif kalau disebut adiktif. Tetapi ini fakta , bahwa masyarakat menggemari kisah-kisah sejarah yang diramu dalam cerita rakyat atau dongeng.

Pun demikian literasi sejarah yang dijadikan sumber cerita dalam bacaan sastra. Sejarah syah-syah saja diramu dalam sastra, sepanjang itu tidak melenceng dari induknya. Kemudian peran fiksi lebih dominan memungkinkan alur itu akan lebih memikat pembaca. Sekaligus mengikat emosi, imajinasi dan fantasi penikmat, untuk lebih jauh lagi menelusuri kisah-kisah di dalamnya. Ini terlepas dari minat membaca masyarakat Indonesia yang boleh di bilang minim bahkan rendah.

 

Literasi sejarah – Fiksi

Novel tentang sejarah Kerajaan Sunda yang cukup fenomenal adalah dwilogi karya E.Rokajat Asura (ERA), Prabu Siliwangi dan  Wangsit Siliwangi. Sumber-sumber sejarah yang ERA gunakan sebagai dasar rujukan bercerita cukup melimpah, dari literasi cetak hingga rumah-rumah alamat website.  Leluasa baginya dalam meramu alur kisah dengan data dan artefak sejarah yang lengkap.

Membaca dan menengarai novel Prabu Siliwangi (2009) – bagian pertama –   yang berkisah pada penguasa Pakuan, Prabu Siliwangi (1482-1521), putra Dewa Niskala,berhasil mengantarkan Pakuan mencapai puncak kejayaan. Sosok raja digdaya yang dihormati rakyat dan dikagumi musuh, berhasil menyatukan Kerajaan Sunda dan Galuh, yang memiliki bala tentara (belapati)  maha kuat.

Peran fiksi dalam plot ini justru diramu pada peristiwa “perseteruan” Prabu Siliwangi dengan Putra Mahkota, Walangsungsang (lahir kl 1423), – putra dari Nyai Subanglarang –  dalam hal prinsip “keyakinan”. Konflik terus berlanjut hingga “titik didih “,  Walangsungsang memutuskan hengkang dari mewahnya kehidupan di  Kedaton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Dan kemudian diikuti oleh adiknya, Larasantang (lahir kl 1426) keluar dari Kedaton. Pengembaraan Walangsungsang mengantarkannya pada Syaikh Nurjati untuk mempelajari Islam lebih mendalam lagi.

Puncak cerita berlabuh pada keberhasilan Walangsungsang mendirikan Padukuhan Cai Rebon (Cirebon) yang kemudian hari menjadi daerah otonom. Walangsungsang pun menjadi pemimpin padukuhan, bergelar Pangeran Cakrabuana. Pada masa ini –  menurut catatan sejarah – adiknya yang lain, Rajasangara (lahir kl 1428), ikut dengan Walangsungsang.

Novel kedua, Wangsit Siliwangi (2009) diawali dengan ketegangan hubungan antara Pakuan Pajajaran dengan Cakrabuana penguasa Caruban Larang. Prabu Siliwangi mengendus adanya hubungan mesra antara Cirebon dengan Demak. Maka Surawisesa – putra Prabu Siliwangi dari  Nyai Kentring Manik Mayang Sunda – diutus ke Malaka untuk berkongsi dengan Portugis (1511). ERA berhasil meramu “ ketegangan” alur antara Pakuan Pajajaran dengan Cirebon, antara ayah dan anak. Konflik semakin menukik ketika Tumenggung Jagabaya, utusan Prabu Siliwangi, tidak kembali ke Pakuan malah menetap di Cirebon dan memeluk Islam. Genderang perang nyaris ditabuh, jika Ki Purwagalih – purohita Pakuan – tidak turun tangan untuk mengingatkan Prabu Siliwangi bahwa penguasa Cirebon adalah darah dagingnya sendiri dan Syarif Hidayatullah adalah cucunya.

Di luar konteks novel Wangsit Siliwangi, dalam Burak Pajajaran, hancurnya kerajaan Pajajaran akibat gempuran Banten yang bersekutu dengan Demak dan Cirebon. Catatan sejarah menyebutkan penguasa terakhir Pajajaran adalah Raga Mulya Prabu Suryakancana (1567-1579). Di tengah suasana keterdesakan dan sebelum moksa , Raga Mulya memberikan nasehat, yang kemudian dikenal sebagai Wangsit Siliwangi. Lalu, korelasinya dengan judul novel Wangsit Siliwangi (yang berlatar Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi), adakah kesinambungannya? Jelas jauh panggang dari api.

Tetapi di sinilah letak kearifan sejarah dan sastra bisa melebur bahkan menghibur serta memperkaya literasi. Dan semoga saja ini dapat memicu budayawan,seniman dan sastrawan Karawang segera menambah pengayaan literasi sejarah-sastra tentang  cerita Adipati Singaperbangsa, umpamanya.  Ayo, siapa berani memulai ?

Penulis adalah Perupa dan Penggiat Seni, Tinggal di Karawang.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *