Oleh: Siti Hamimah, MH
Dosen Fakultas Hukum Unsika &
Kandidat Doktor Hukum Tata Negara Brawijaya Malang
PEMERINTAH bersama dengan Badan Legislasi DPR RI telah menyepakati substansi Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU CK). Kesepakatan ini dicapai dalam Rapat Kerja Badan Legislasi DPR RI dengan pemerintah untuk pengambilan keputusan terhadap Pembicaraan Tingkat I RUU Cipta Kerja, Sabtu (3/10/2020) di Jakarta.
Selanjutnya, RUU CK akan dibawa ke Rapat Paripurna untuk pengambilan keputusan dan mendapatkan pengesahan. Kemudian, point apa saja yang perlu disosialisasikan lagi. Berikut adalah perjalanan RUU CK:
Pada tanggal 12 Februari 2020 Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto menyerahkan surat presiden dan draft RUU Cipta Kerja ke ketua DPR PUAN Maharani ( yang berisi 15 bab dan 174 pasal) walaupun dalam perjalanannya mengalami pengurangan.
Pada tanggal 16 Februari 2020 Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menggelar jumpa pers dan menyatakan menolak Omnibus Law yang tertuang di RUU Cipta Kerja ini.
Pada tanggal 28 Februari 2020 Ketua Umum PBNU KH. Agil Siradj menerima kunjungan sejumlah serikat buruh yg ada di Indonesia dan PBNU mendukung kepada kaum buruh terkait dengan apa yang disuarakan oleh kaum buruh.
Pada tanggal 24 April 2020 Presiden Jokowi memutuskan menunda pembahasan RUU Cipta Kerja Omnibus Law khususnya lagi pembahasan mengenai klaster ketenagakerjaan
Pada tanggal 11 Juni 2020 Ternyata tidak hanya kaum buruh yang merasa keberatan dengan RUU Cipta Kerja ini, bahkan insan media termasuk wartawan, Dewan pers dan Aliansi Jurnalis Independen mendesak dikeluarkannya pasal mengenai Pers dari Omnibus Law yaitu ada di Pasal 18 Ayat 3 dan 4 akan mengancam Independensi Pers dan Insan media dan di anggap Pemerintah bisa campur tangan terhadap kebebasan Pers.
Pada tanggal 11 Juli 2020 Pemerintah menghapus Pasal mengenai Pers dalam Omnibus Law yang ada di dalam RUU Cipta Kerja ini.
Kemudian tak kurang dari 63 kali rapat Panitia Kerja ( 56 kali Rapat Panja, 6 kali Rapat Tim Mus/ Tim Sin dan 1 kali Rapat Kerja) telah digelar, dalam rangkaian pembahasan yang cukup panjang di tengah situasi pandemi Covid-19 yang banyak membatasi aktivitas, 3 Oktober Pemerintah dan DPR kompak mengebut finalisasi pembahasan RUU Cipta Kerja. Pembahasan Omnibus Law, Baleg DPR dan Pemerintah akhirnya menyetujui pengambilan keputusan tingkat I ( satu) atas RUU Cipta Kerja.
Berikut Point Kontroversi Terkait UU Cipta Kerja
Nilai maksimal pesangon bagi karyawan WNI yang mengalami PHK jika dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2013 bisa sampai 32 gaji, di UU ini hanya 25 X gaji. Bahkan di detailkan di Pasal 156 Ayat 2 uang pesangon untuk karyawan yang mengundurkan diri masa kerja 8 Tahun/lebih maka akan diberikan uang pisah 8 bulan saja.
Pasal 156 Ayat 3 uang penghargaan untuk masa kerja 24 tahun /lebih ialah 10 bulan upah, bahkan dalam uu ini untuk nilai maksimal pesangon 25 kali gaji, 19 kali gaji diberikan oleh perusahaan sementara sisanya 6 kali oleh bpjs ketenagakerjaan
PKWT atau pekerja kontrak, dalam undang-undang baru ini batas maksimal sebagai pekerja kontrak menjadi pegawai kontrak seumur hidup ada dalam Pasal 59, Izin TKA Pasal 42 jika sebelumnya akan mempekerjakan TKA maka harus mengajukan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) dari Pemerntah Pusat, dalam Pasal UU baru ini dihapuskan
Upah minimum yang tadinya akan dihapuskan sistem penetapan upah minimum Provinsi maupun Kabupaten/Kota , tapi ternyata tidak jadi dihapuskan. Pekerja outsourching (alih daya) bisa dipekerjakan seumur hidup, sebelumnya dalam uu ketenagakerjaan untuk outsourching ini dibatasi tanpa batas jenis pekerjaan. Padahal sebelumnya dalam UU Ketenagakerjaan dibatasi hanya untuk 5 sektor pekerjaan saja.
Tenaga kerja bisa dapat kompensasi setelah bekerja satu tahun , maka karyawan yang bekerja kurang dr satu tahun tidak dapat kompensasi
Waktu kerja berlebihan (eksploitatif) bisa dikatakan paruh waktu kerja paruh waktu paling lama 8jam/hari (40jam/minggu). Hak upah cuti hilang , hak cuti haid dan melahirkan tidak hilang namun hak upah yang hilang.
Teknik Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik
Problem mendasar kita sebelum menyusun UU Cipta Kerja teknik Omnibus Law ini adalah dengan memperbaiki dahulu lampiran 2 UU no 12 tahun 2011 yang mana telah mengalami perubahan dengan nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, ada tata cara atau teknik pembuatan Peraturan PerUndang-undangan sementara dilampiran 2 itu belum memenuhi teknik Omnibus Law. Teknik ini belum di adopsi dalam praktek penyusunannya. Sehingga dalam praktek penyusunannya mengagetkan kita semua.
Penulis berpendapat, tidak ada persoalan kita mengadopsi Omnibus Law tapi yang paling penting di sesuaikan dulu teknik penyusunannya dengan teknik Omnibus Law agar ada kepastian bagaimana status dari satu Pasal ke Pasal lain dari teknik Omnibus Law tersebut.
Kemudian, 76 Undang-undang di bahas dalam waktu yang bersamaan, seluruh kepentingan pekerja, Pemerintah Daerah, Aktivis Lingkungan Hidup, UMKM, dll ketika tidak ada ketelitian dalam penyusunannya maka semua mata akan menyoroti Undang-undang ini sehingga di khawatirkan adanya kegaduhan. Ke depan yang paling penting menurut penulis adalah apabila teknik Omnibus Law mau terus kita gunakan perbaharui dulu teknik penyusunan di lampiran UU No. 12 Tahun 2011 agar kepastian hukum kita sejalan dengan tujuan kita bersama. (*)